Proses transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) berpotensi kandas di tengah jalan apabila tidak memiliki perencanaan secara matang serta mengesampingkan ketahanan energi di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengatakan untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Indonesia harus meningkatkan ketahanan energi dengan mempercepat transisi energi bersih dan mengurangi kebutuhan impor dan konsumsi bahan bakar fosil.
"Ketahanan energi menjadi semakin penting dalam perjalanan menuju net-zero," ujar Dadan dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (19/9/2023).
Baca Juga: Hadapi Perubahan Iklim, PLN Paparkan Konsep Transisi Energi Menuju COP28
Dadan mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai netralitas karbon tersebut, Indonesia menjadikan program dekarbonisasi tidak hanya di sektor ketenagalistrikan saja, tetapi juga harus menyentuh sektor konsumsi energi yang terdiri dari industri, transportasi, perumahan dan sektor komersial.
Pada sektor industri, bisa dilakukan dengan meningkatkan pangsa listrik, meningkatkan energi efisiensi, menerapkan hidrogen sebagai substitusi gas dan biomassa sebagai substitusi bahan bakar fosil, menerapkan teknologi CCS/CCUS untuk semen, industri kimia dan baja.
Sedangkan pada sektor transportasi, melanjutkan pemanfaatan biofuel, mempercepat kendaraan listrik, menerapkan penggunaan hidrogen untuk truk, bahan bakar ramah lingkungan untuk kendaraan, dan kapal listrik untuk jarak pendek.
"Sementara di sektor rumah tangga dan komersial, dengan mengganti LPG dengan kota gas, kompor induksi, dan dimetil eter; dan meningkatkan penggunaan tinggi peralatan hemat energi," ucapnya.
Lanjutnya, dalam peta jalan yang dibuat pemerintah menuju NZE, strategi utama di sisi pasokan adalah pengembangan besar-besaran produk-produk baru dan energi terbarukan, penghentian bertahap pembangkit listrik berbahan bakar fosil, konversi dari pembangkit listrik tenaga diesel menjadi gas dan terbarukan serta pemanfaatan rendah emisi teknologi seperti teknologi CCS/CCUS, hidrogen dan nuklir
Di mana, mulai tahun 2030 pengembangan Variable Renewable Energy (VRE) Solar PV semakin meningkat secara besar-besaran, disusul pembangkit listrik tenaga angin mulai tahun 2037.
"Nuklir akan komersial pada tahun 2039 untuk meningkatkan keandalan sistem tenaga. Itu kapasitas akan ditingkatkan hingga 31 GW pada tahun 2060. Sementara hidrogen akan mulai diproduksi dari pembangkit listrik energi terbarukan pada tahun 2031 untuk transportasi dan industri," ungkapnya.
Baca Juga: RI Hadapi Tantangan dalam Transisi Energi: Dari Over Supply Listrik hingga Pendanaan
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: