Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

RI Hadapi Tantangan dalam Transisi Energi: Dari Over Supply Listrik hingga Pendanaan

RI Hadapi Tantangan dalam Transisi Energi: Dari Over Supply Listrik hingga Pendanaan Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia akan menghadapi tiga tantangan dalam proses transisi energi dari fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengejar target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, tantangan tersebut salah satunya adalah over supply atau kelebihan daya listrik yang tengah dihadapi oleh PLN.

"Kalau dari hitung-hitungan kami, harusnya energi terbarukan itu 3-4 GW per tahun kapasitas tambahannya, bahkan lebih tinggi lagi kalau mau," ujar Fabby dalam konferensi pers, Senin (18/9/2023).

Baca Juga: Sejumlah Pengusaha Berinvestasi pada Energi Panas Bumi, IESR: Ada Potensi di Sana

Fabby menilai kondisi over supply ini punya implikasi kalau pembangkitnya ditambah, tapi permintaannya tidak naik dengan cepat, maka akan memperparah persoalan over supply.

Menurutnya, penambahan EBT juga akan sangat bergantung pada PLN dalam memproses pengadaan yang sejauh ini masih harus ditingkatkan, termasuk dalam mengantisipasi faktor-faktor penghambat yang ada di luar dugaan.

"Sebagai contoh, PLTS Bali. Kalau saya tidak salah, targetnya 2024 harus sudah masuk, tapi ada kendala urusan pembebasan lahan, financing, kemudian harga panel surya yang sempat mahal, itu kan di luar dugaan," ujarnya.

Lanjutnya, faktor lainnya adalah mengenai pendanaan, di mana bila mengacu pada tarif rata-rata, hampir 70 persen produksi listrik dihasilkan dari batu bara.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biaya produksi listrik berkisar 7-8 sen dolar AS per kWh. Maka dari itu, jika PLN ingin membeli energi terbarukan, maka harus dipastikan bahwa tarifnya kompetitif dengan tarif batu bara.

"Karena kalau tidak, tentu akan menaikkan biaya produksi listrik. Kalau naik biaya produksi listrik, tentu subsidi bertambah, kompensasi bertambah, lalu margin PLN turun. Jadi agak kompleks," ucapnya.

Fabby melanjutkan, untuk mendapatkan harga energi terbarukan yang kompetitif dengan kondisi saat ini, maka diperlukan pendanaan yang berbunga rendah.

"Low cost financing itu penting, untuk bisa mendapatkan misalnya harga (listrik dari) PLTS di bawah 5,5 sen dolar AS (per kWh), harga panas bumi yang tidak lebih dari 8 sen dolar AS, lalu harga hydro kira-kira 7 sen dolar AS. Kan selain proyeknya harus bagus, pembiayaan juga harus murah," ucapnya. 

Baca Juga: Klaim Berkomitmen Bangun Pembangkit Energi Bersih, PLN Tambah Porsi EBT 75% sampai 2040

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: