Tenggelam di tengah-tengah hiruk pikuk berita politik, peristiwa mengenaskan di Ungaran, Jawa Tengah, sepi perhatian. Seorang pria mati gantung diri di rumahnya, 9 September 2023, setelah terjerat utang pinjaman online. Lebih memilukan lagi, peristiawanya terjadi Mei 2023, namun bunuh diri akibat pinjaman online ini baru dihebohkan media, tiga bulan kemudian, itu pun setelah ada akun X yang menuliskannya. Padahal, mengakhiri hidup karena terlilit utang pasti bukan sekadar kematian.
Kedua kasus bunuh diri ini menambah panjang jumlah orang yang memilih mengakhiri hidupnya gara-gara terjerat utang pinjaman online (ilegal). Per September 2023, berdasarkan berita media, tercatat 13 orang bunuh diri (semuanya gantung diri, kecuali satu orang balita yang disilet pembuluh daranya oleh ibunya sebelum sang ibu gantung diri) karena utang pinjaman online, dua orang berhasil diselamatkan dan satu orang mahasiswa di Depok membunuh kawannya. Jika digabung, total 16 kasus. Lokasinya tersebar di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kasus bunuh diri karena masalah pinjaman online ini konsisten meningkat sejak tahun 2019. Pada puncak pandemi Covid-19 tahun 2021 jumlah kasus bunuh diri akibat utang pinjaman online ilegal yang dilaporkan media sebanyak 10 kasus, semuanya terjadi di Jawa. Total kasus dari tahun 2019 hingga saat ini sebanyak 29 bunuh diri, lima percobaan bunuh diri dan satu orang membunuh temannya. Setengah lebih dikit adalah pria, berkeluarga (terdapat satu kasus suami-istri), karyawan dengan rentang umur dari 20-an tahun hingga 51 tahun.
Baca Juga: Duh-Aduh, Usia 19 Tahun ke Bawah Banyak Terjerat Pinjol dan Kredit Macet!
Angka-angka ini adalah pertanda buruk yang sudah sepatutnya membunyikan tanda bahaya bagi otoritas yang melahirkan dua pertanyaan serius: (1) Kenapa pinjaman online ilegal ini berkeliaran? (2) Faktor apa yang dominan mendorong masyarakat meminjam kepada pinjaman online (ilegal) yang dalam banyak kasus mencekik leher?
Predatory Lending
Pinjaman online ilegal beroperasi di luar pengawasan OJK dan sudah barang tentu tidak terdaftar sebagai anggota asosiasi mana pun yang mengatur perilaku bisninya. Jumlahnya ribuan, yang selalu mudah bersalin rupa setiap kali habis ditutup oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas usul Satuan Tugas Penangan Kegiatan Usaha Tanpa Ijin di Sektor Keuangan (Satgas Waspada Investasi). Bayangkanlah data ini: jumlah pinjaman online tanpa izin yang sudah ditutup lebih dari 4.000. Bandingkan dengan yang berizin hanya lebih dari 100 usaha.
Karena beroperasi tanpa tunduk pada regulasi, maka pinjaman online ilegal ini bebas menjalankan bisnisnya berdasarkan apa yang disebut sebagai predatory lending, yakni menawarkan pinjaman dengan syarat, bunga dan biaya yang tidak wajar, memberatkan, tidak transparan dan karenanya sudah pasti mencekik. Contoh, bunga super tinggi dan biaya tidak transparan. Anda meminjam Rp1 juta, tapi hanya menerima Rp700 ribu dengan total pengembalian kurang lebih Rp1,5 juta dalam satu pekan.
Satu studi yang dilakukan ResponsiBank Indonesia tahun 2019 menemukan satu nasabah di Jakarta meminjam di pinjol (ilegal?), awalnya di 10 perusahan dengan masing-masing Rp1 juta. Satu minggu kemudian utangnya sudah naik menjadi Rp15 juta dan dalam beberapa bulan. Nasabah ini sudah memiliki utang Rp500 juta di sekitar 80 perusahaan pinjol.
Ciri lain predatory lending adalah memberikan pinjaman tanpa peduli dengan kemampuan peminjam mengembalikan utang. Mereka akan menenggelamkan peminjaman dalam tumpukan utang yang pada satu titik, peminjam menyerah. Itulah yang persis terjadi dengan nasabah di Jakarta tadi. Ringkasnya, mereka buas layaknya predator. Baca berulang-ulang kalimat terakhir ini.
Lantas apa jawaban atas pertanyaan serius di atas tadi, kenapa pinjaman online tak berizin itu bebas berkeliaran dalam jumlah banyak pula (sebelum akhirnya ditutup untuk kemudian muncul lagi dengan nama beda)? Pertanyaan sulit ini tidak mudah menjawabnya, namun bisa diringkas menjadi tiga.
Pertama, teknologi digital yang ada memungkin siapa saja bisa membuat aplikasi dengan gampang, lalu memasarkannya lewat media sosial dengan cepat dan menjangkau banyak orang seketika. Kedua, literasi keuangan masyarakat yang rendah di tengah inklusi keuangan yang sudah jauh di depan. Tingkat literasi keuangan masyarakat berdasarkan survei OJK tahun 2022, belum sampai 50%, sementara inklusinya sudah lebih dari 85%.
Ketiga, dibandingkan pinjaman online resmi berizin OJK, pinjaman online ilegal lebih gampang diakses dan mudah memberikan pijaman. Ini mirip dengan salah satu faktor kenapa rentenir dulu diminati masyarakat ketimbang lembaga keuangan formal karena lintah darat mudah diketok pintunya. Banyak pengakuan masyarakat mengungkapkan bahwa ketika mereka terdesak kebutuhan, pinjol ilegal bisa mencairkan pinjaman dalam hitungan jam. Ngomong-ngomong, siapa sih sebenarnya pemodal pinjol ilegal ini?
Dari tiga jawaban di atas, jawaban nomor satu agaknya di luar kendali otoritas (meski tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan), sedangkan nomor dua dan tiga bisa dikendalikan. Jadi, ketimbang berfokus melulu pada inklusi, saatnya memberi perhatian lebih, terkoordinasi, dan serentak pada masalah literasi.
Terlilit Utang
Lalu apa jawaban atas pertanyaan, faktor apa yang membuat masyarakat gemar berutang? Di luar karena kebutuhan usaha, agaknya kita akan menemukan dua jawaban ini. Pertama, karena kebutuhan hidup yang mendesak, seperti biaya sekolah, kesehatan, dan lain. Ini yang terjadi pada banyak guru (berdasakan laporan OJK) yang terjebak lintah digital. Kan, tidak mungkin guru yang terdidik itu kurang literasinya sampai harus meminjam dengan syarat bunga pencekik? Masalah kemiskinan ini mesti mendapat perhatian serius pemerintah.
Kedua, harus diakui bahwa saat ini konsumersime tak terbendung dan cara mudah untuk membiayainya adalah pinjaman cepat cair online tak peduli bunga dan biayanya luar bisa besarnya.
Gabungan kedua hal di atas ditambah pemasaran agresif pinjol ilegal membuat banyak masyarakt terlilit utang yang tak bisa dibayar. Dalam jangan pendek, masalah ini berbahaya bagi rumah tangga dan dalam jangka menengah, berpotensi fatal pada ekonomi makro. Dibutuhkan cara-cara kreatif untuk mengatasi masalah ini. "Karena ini ilegal, bukan dalam pengawasan kami. Itu urusannya polisi," pasti bukan jawaban kreatif, cerdas, dan bermutu.
Tapi apakah pinjaman online melulu beracunnya? Tentu saja tidak. Siapa bilang pinjaman berbasis teknologi tidak memiliki madu? Statistik OJK ini bercerita banyak tentang madu itu.
Jumlah outstanding pinjaman online resmi hingga Juni 2023 mencapai Rp47 triliun (pada Juli sudah lebih dari Rp50 triliun). Camkan baik-baik, Anda tidak salah baca.
Hampir Rp17 triliun untuk membiayai UMKM dengan kualitas pinjaman yang mengagumkan dilihat dari sisi kelancaran membayar cicilan. Tingkat macetnya rendah. Memang, penyaluran pinjaman ini masih terkonsentrasi di Jawa (87%) dengan porsi terbesar ada di Jakarta, disusul berturut-turut Jawa Barat dan Jawa Timur, Banten dan Jawa Tengah. Ini bisa mengulangi kesalahan konstrasi kredit pada lembaga keuangan non-digital.
Baca Juga: Ekonom: Ada Keterkaitan antara Peningkatan Jumlah Pinjol dan Judi Online
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti