Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Persidangan dugaan kesepakatan penetapan suku bunga layanan pinjaman daring (pindar) yang digelar Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) mendapat kritik dari pakar hukum persaingan usaha. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Profesor Ningrum Natasya Sirait menilai pemeriksaan terhadap 97 perusahaan terlapor tidak memiliki pijakan hukum yang kuat karena KPPU belum menetapkan definisi pasar yang tepat dalam perkara tersebut.
KPPU saat ini memeriksa dugaan pelanggaran persaingan usaha terhadap seluruh perusahaan terlapor yang tercatat sebagai anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Ningrum menyebut pendekatan pemeriksaan secara seragam tersebut menunjukkan kegagalan tim investigator membangun konstruksi perkara. Ia menilai para platform pindar beroperasi di segmen pasar berbeda, termasuk beberapa penyelenggara yang mengusung pembiayaan syariah sehingga tidak relevan dengan dugaan penetapan suku bunga.
“Di antara para terlapor itu ada penyelenggara pembiayaan berbasis syariah seperti Alami Sharia hingga Duha Syariah. Cara kerja mereka tidak mengenal konsep bunga, melainkan akad murabahah, musyarakah, atau qardh. KPPU menyatakan 97 penyelenggara P2P lending itu bergerak di satu pasar identik, sementara industri ini punya struktur cukup kompleks dan tersegmentasi,” ujar Ningrum dalam persidangan pada Senin (24/11).
Baca Juga: Guru Besar USU Komentari Sorotan pada Penetapan Suku Bunga Pindar oleh Asosiasi Fintech
Ia menambahkan bahwa platform pindar tidak menyasar target pasar yang sama. Sejumlah penyelenggara fokus pada pembiayaan produktif seperti pembiayaan UMKM atau usaha ultra mikro, sementara lainnya melayani pinjaman konsumtif mikro. Menurutnya, perbedaan model bisnis, profil risiko, dan perilaku konsumen membentuk segmentasi pasar yang tidak dapat dipukul rata.
Dalam penjelasannya mengenai dugaan kartel, Ningrum menyampaikan bahwa praktik kesepakatan harga biasanya terjadi pada pasar yang hanya memiliki sedikit pelaku. “The fewer, the better. Kartel umumnya hanya efektif di pasar yang bersifat oligopolistik atau yang memang hanya memiliki beberapa pelaku usaha. Tidak realistis mengharapkan adanya kesepakatan yang mampu menyatukan puluhan pelaku usaha secara efektif,” paparnya.
Ia juga menyoroti Peraturan Ketua KPPU Nomor 4 Tahun 2022 yang mensyaratkan penentuan pasar berdasarkan karakteristik produk, harga, dan tujuan penggunaan. Jika parameter tersebut diterapkan, menurutnya, pasar pinjaman daring bersifat terfragmentasi. Kesalahan mendasar dalam mendefinisikan pasar, katanya, merupakan kesalahan hukum yang dapat membatalkan konstruksi perkara. “Dalam perkara persaingan, kesalahan mendasar dalam mendefinisikan pasar bersangkutan adalah kesalahan hukum dan seharusnya membatalkan seluruh konstruksi kasus,” ujarnya.
Baca Juga: BI Diperkirakan Pangkas Suku Bunga Dua Kali di 2026
Menanggapi peran asosiasi, Ningrum menjelaskan bahwa asosiasi di Indonesia sering berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. “Berbeda dengan banyak negara lain, asosiasi di Indonesia kerap berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Ketika ada sesuatu yang dipanggil bukan pelaku usaha, tetapi asosiasi,” katanya. Namun ia menegaskan bahwa untuk menilai adanya pelanggaran, penegak hukum persaingan usaha tetap harus membuktikan unsur mens rea.
KPPU telah menggelar sidang pemeriksaan perkara ini sejak 14 Agustus. Persidangan masih berlanjut dengan menghadirkan saksi dari pihak investigator maupun terlapor. Pemeriksaan dijadwalkan terus berlangsung dalam beberapa minggu ke depan sebelum majelis komisi mengambil langkah lanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement