Perekonomian Sri Lanka kembali menyusut 3,1 % pada kuartal kedua 2023, ketika negara itu masih bergulat dengan krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Mengutip Channel News Asia, Senin, (17/9) Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka menyebut penurunan ekonomi di negaranya didorong oleh inflasi yang tinggi, utang dari Tiongkok yang melambung, depresiasi mata uang dan rendahnya daya beli.
Sri Lanka mengalami kontraksi sebesar 11,5 persen di kuartal pertama di 2023, karena negara teraebut tengah berjuang untuk mendapatkan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Maret 2023.
Delegasi IMF saat ini berada di Sri Lanka untuk peninjauan pertama program Extended Fund Facility (EFF), yang memerlukan kemajuan dalam restrukturisasi utang bilateral dan utang pemegang obligasi negara tersebut.
Pemegang obligasi internasional Sri Lanka mengatakan pembicaraan dengan Kolombo sedang berjalan dan diperkirakan akan mencapai kesepakatan prinsip, mungkin pada bulan depan.
Akan tetapi, kegagalan diplomatik Sri Lanka untuk mendapatkan kerangka keringanan utang yang konkrit dari Tiongkok, membuat negara tersebut kehilangan akses terhadap uang tunai yang sangat dibutuhkan berdasarkan dana talangan $3 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Kunjungan pejabat IMF bulan lalu, menyoroti lambatnya kemajuan ekonomi Sri Lanka, yang diketahui telah bangkrut ini dalam merestrukturisasi utang luar negerinya.
Presiden Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe yang berkunjung ke Tiongkok pada pertengahan Oktober lalu, diketahui akan menghadiri pertemuan puncak peringatan 10 tahun Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), yang merupakan program pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Beijing.
Sumber pemerintah Sri Lanka menyebut Ranil Wickremesinghe, akan bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk membahas keringanan utang negaranya. Disisi lain, IMF tidak menyalahkan siapa pun terkait peninjauan pemberian dana talangan kepada Sri Lanka.
Namun berbagai sumber diplomatik dari misi Asia dan Barat di Kolombo mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa beban Tiongkok yang membebani utang Sri Lanka adalah sebuah masalah.
IMF mengatakan bahwa lampu hijau untuk bantuan tambahan, membutuhkan penyelesaian tinjauan pembiayaan, setelah meneliti rekor Sri Lanka sejak suntikan pertama sebesar $330 juta, yang disetujui pada akhir Maret.
Kepala misi IMF untuk Sri Lanka, Peter Breur mengatakan tinjauan jaminan pembiayaan ini akan fokus pada maju tidaknya Srilanka dalam restrukturisasi utang, untuk memberikan keyakinan bahwa restrukturisasi tersebut akan diselesaikan tepat waktu dan sejalan dengan target program utang.
Sementara Tiongkok yang dikenal sebagai kreditor bilateral, akhirnya bergabung dengan negara pemberi pinjaman lainnya seperti Jepang dan India pada awal tahun ini.
Jepang dan India sendiri sebelumnya telah menawarkan jaminan keuangan awal kepada Sri Lanka, agar dapat memenuhi persyaratan IMF untuk menyetujui pemberian dana talangan pada bulan Maret, kepada negara tersebut.
Beijing menawarkan moratorium dua tahun terhadap utang Sri Lanka dan membicarakan pemberian pinjaman baru untuk membayar utang yang ada.
Tiongkok juga menolak keras undangan pada bulan April lalu untuk bergabung dengan komite kreditor bilateral Sri Lanka yang diketuai oleh Jepang, India dan Perancis, karena negara-negara tersebut bertujuan merancang kerangka restrukturisasi utang luar negeri khusus bagi Sri Lanka.
Akibatbya, belum ada kemajuan konkrit dalam komite kreditor Jepang-India-Prancis karena tidak ada kemajuan dari Tiongkok, dan sejumlah seumber mengatakan ke 3 negara tersebut saat ini akan mengikuti hasil kunjungan Presiden Ranil ke Tiongkok dengan cermat.
Akibatnya, cakupan utang Sri Lanka ke Tiongkok masih dalam pengawasan sehingga negara tersebut kehabisan cadangan devisa pada akhir tahun 2021, untuk membayar impornya.
Bukan hanya itu saja, Sri Lanka juga saat ini tengah menghadapi tekanan untuk melunasi utang luar negeri sebesar $7 miliar pada tahun berikutnya, sehingga mendorong negara tersebut ke jurang krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada tahun 1948.
Pada tahun 2021, utang pemerintah Sei Lanka mencapai 114% dari produk domestik bruto 47%, di antaranya dalam bentuk pinjaman luar negeri, dengan kreditor swasta yang telah membeli obligasi negara internasional menduduki peringkat teratas, diikuti oleh pemberi pinjaman bilateral yang dipimpin oleh Tiongkok.
Pada bulan Mei 2022, Sri Lanka menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah pertama di Asia yang gagal membayar utang negaranya pada abad ini. Pinjaman Tiongkok telah membiayai banyak proyek infrastruktur besar, termasuk jalan raya, bandara, dan pelabuhan.
Dua ekonom senior Sri Lanka, Umesh Moramudali dan Thilina Panduwawala sebelumnya telah mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan tidak terjebak "jebakan betmen" utang Tiongkok.
Keduanya menyebut Tiongkok saat ini memainkan peran utama mereka dalam proses restrukturisasi utang Sri Lanka, dengan $7,4 miliar atau 19,6% dari utang publik yang harus dibayar Sri Lanka ke Tiongkok pada akhir tahun 2021.
Sementara sebuah yang dilakukan oleh Universitas Johns Hopkins yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyebut pendekatan Tiongkok terhadap restrukturisasi utang Sri Lanka dan tingkat keringanan utang yang ditawarkan, akan menjadi preseden bagi peran dan perilaku Tiongkok di negara dunia lainnya yang mereka berikan pinjaman.
Pinjaman Tiongkok ke Sri Lanka sebagian besar berasal dari dua bank utama, yakni China Exim Bank yang menyumbang $4,3 miliar, dan China Development Bank, yang memberikan $3 miliar.
Sebaliknya, pinjaman tanpa bunga yang diberikan langsung ke Sri Lanka sebagai bagian dari bantuan resmi dari pemerintah Tiongkok hanya berjumlah $16 juta pada akhir tahun 2021, dan Sri Lanka menemukan pinjaman EXIM atau CDB yang bebas bunga.
Krisis ekonomi yang menyerang Sri Lanka telah berubah menjadi krisis kelaparan yang parah. Setengah keluarga di negara kepulauan yang dinyatakan bangkrut pada tahun lalu itu terpaksa mengurangi jumlah makanan yang berikan kepada anak-anak mereka.
Dalam laporan terbaru yang diterbitkan Kamis (2/3/2023), badan amal hak anak Save the Children memperingatkan pemerintah Sri Lanka dan komunitas internasional harus bertindak sekarang untuk mencegah anak-anak di negara itu menjadi generasi yang hilang.
"Sejak pemerintah Sri Lanka gagal membayar utangnya hampir setahun yang lalu, melonjaknya inflasi dan kelangkaan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar serta kurangnya pekerjaan yang stabil telah membuat keluarga tidak mampu mengatasinya," kata laporan itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: