Cegah Perubahan Iklim, Solusi Berbasis Alam Harus Digenjot Swasta di Indonesia
Praktik bisnis regeneratif menjadi solusi berkelanjutan bagi perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam operasionalnya guna pengendalian perubahan iklim. Salah satu yang potensial untuk dilakukan adalah pemanfaatan biomassa dalam transisi energi.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro menjelaskan menjalankan operasional sekadar ramah lingkungan tidak cukup. Saat ini perusahaan dituntut untuk melaksanakan bisnis regeneratif.
Baca Juga: KLHK Ungkap Penyebab Banjir Bandang Humbahas, Ternyata
“Bisnis regeneratif mengikuti prinsip-prinsip alam yang akan memberikan lebih banyak dampak bagi Masyarakat,” katanya saat membuka diskusi panel bertajuk 'Adoption of transition energy, nature based solution, biomassand circularity as practical climate change solutions' di Paviliun Indonesia pada konferensi perubahan iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, dilansir pada Jumat (8/12).
Menurut Sigit, transisi energi, solusi berbasis alam (nature based solution) dan pendekatan berbasis ekosistem, pemanfaatan biomassa dan sirkularitas adalah beberapa cara yang menjanjikan untuk menerapkan bisnis regeneratif.
“Implementasinya dapat memberi pertumbuhan eksponensial dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan,” katanya.
CEO PT Vale Indonesia Febriany Eddy menjelaskan perusahaannya akan memanfaatkan biomassa sebagai sumber energi di smelter. Uji Coba pemanfaatan limbah cangkang kelapa sawit, sabut kelapa dan kayu serpih sudah dilakukan pada tahun ini.
Baca Juga: Jokowi Hadiri COP28 UNFCCC di Dubai, Dunia Puji Aksi Iklim Indonesia
“Pada tahun 2025 pemanfaatan biomassa diharapkan bisa mengurangi penggunaan batubara hingga 30%,” katanya.
Febriany menjelaskan, biomassa akan mendukung pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan lain yaitu PLTA. Vale Indonesia telah membangun tiga pembangkit listrik tenaga air untuk memenuhi kebutuhan energi pada proses pengolahan nikel.
Tiga PLTA ini berkontribusi pada pengurangan emisi GRK hingga 1 juta ton CO2 per tahun. Dalam transisi energi, Vale Indonesia juga memanfaatkan gas alam. Meski tetap menghasilkan emisi GRK, namun gas alam menghasilkan 50% emisi GRK lebih rendah dibandingkan batu bara.
Baca Juga: Di Ajang Pertemuan Iklim Dunia Pertamina Nyatakan Siap jadi Pemain Utama Penyimpan Karbon Indonesia
Menurut Febriany, mineral nikel yang dihasilkan oleh Vale Indonesia adalah bagian dari transisi energi untuk kebutuhan pembuatan baterai pada kendaraan listrik dan produk lainnya. Untuk itu, cara produksinya pun harus dilakukan dengan berkelanjutan.
Sementara itu General Manager Green Energy, Biofuel Feedstock & Business Development Apical, Aika Yuri Winata menjelaskan perusahaannya mendukung pengembangan bahan bakar rendah emisi GRK untuk sektor penerbangan memanfaatkan biofuel berbasis residu minyak sawit.
“Apical telah bekerja sama dengan Cepsa membangun pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan yang berkapasitas 500.000 ton/tahun. Ini bisa memangkas emisi karbon hingga 1,5 juta ton per tahun dari sektor penerbangan,” kata Aika.
Dia menjelaskan sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi GRK dimana pada tahun 2019 sekitar 3% dari emisi karbon berasal dari sektor penerbangan. Di sisi lain, penerbangan juga menjadi sektor yang sangat menantang dalam proses dekarbonisasi diantaranya persyaratan teknis dengan standar tinggi yang mesti dipenuhi.
Baca Juga: Wakaf Hutan Diluncurkan untuk Dorong Potensi Pembiayaan Aksi Iklim secara Mandiri
Meski demikian, sektor ini juga sudah menyatakan komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2050. Turut menjadi pembicara pada diskusi panel tersebut Advisor to Chairman Alserkal Envirol UEA Maher Al Kaabi dan Kepala Program dan Divisi Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: