Menelusuri Inkonsistensi Abdulhakim Idris dalam Menanggapi Isu HAM: Uighur vs Palestina
Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terkait kebebasan beragama, khususnya terkait etnis Uighur di Tiongkok, terus menjadi sorotan internasional.
Direktur Center For Uighur Studies (CUS), Abdulhakim Idris, memainkan peran penting dalam mengangkat isu ini.
Namun, inkonsistensinya dalam menanggapi kasus serupa, seperti penjajahan Israel atas Palestina, menimbulkan pertanyaan tentang kesetiaannya pada prinsip HAM atau apakah ada motif politik tertentu di balik sikapnya.
Abdulhakim Idris dengan tegas mengecam pemerintah Tiongkok atas dugaan kejahatan genosida terhadap etnis Uighur.
Pelarangan beribadah, pemaksaan untuk melepas atribut keagamaan, penghilangan identitas, dan penghancuran masjid menjadi fokus kritiknya. Idris mendukung kemerdekaan etnis Uighur dan mendorong negara-negara Muslim untuk bersatu mendukung perjuangan ini.
"Kami harus bersatu untuk menyuarakan kebebasan etnis Uighur. Ini adalah panggilan untuk melawan ketidakadilan dan melindungi hak asasi manusia," pungkas Abdulhakim Idris.
Namun, kritik muncul dari Ahmad Sulthon Zainawi, mahasiswa Hukum di Universitas Islam Indonesia. Ia mencermati inkonsistensi Idris yang, meski berkomitmen pada prinsip HAM dalam kasus Uighur, malah menunjukkan keberpihakan pada Israel dalam konflik Palestina.
Ironisnya, Abdulhakim Idris mengklaim Hamas sebagai kelompok teroris, sementara mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi dalam penjajahan Israel.
"Kita perlu konsisten dalam mendukung hak asasi manusia di mana pun dan tidak memilih-milih kasus. Inkonsistensi dapat mengurangi dampak serius perjuangan HAM," kata Ahmad Sulthon Zainawi.
Melihat latar belakang Abdulhakim Idris yang menjadi peneliti di Amerika, muncul pertanyaan apakah inkonsistensinya terkait dengan agenda politik Amerika. Amerika, sebagai negara super power, aktif dalam mempolitisasi isu Uighur untuk menekan Tiongkok, yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan Amerika.
Dukungan intensif terhadap Israel juga mencuat, dengan rencana bantuan senilai US$14,3 miliar dalam konfliknya dengan Hamas.
"Sikap Abdulhakim Idris mungkin tercermin dari dinamika politik global saat ini, di mana kepentingan negara besar turut memengaruhi narasi hak asasi manusia," ujar Ahmad Sulthon Zainawi.
Dalam konflik Israel-Palestina, perang sebagai penyelesaian sengketa secara paksa seharusnya dihindari sesuai Pasal 2 Ayat 4 Prinsip PBB. Namun, Israel tampak mengabaikan prinsip ini dengan serangannya yang telah menewaskan ribuan warga Palestina.
Penduduk sipil dan kombatan harus dibedakan dalam agresi perang, sesuai Protokol Tambahan I Tahun 1977. Israel, dalam agresinya, dikritik karena tidak memperhatikan prinsip pembedaan, menyebabkan banyak korban di antara masyarakat sipil Palestina.
Data CNBC mencatat 19.543 nyawa masyarakat Palestina hilang akibat serangan Israel. Ini dianggap sebagai kejahatan perang dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip HAM oleh beberapa pakar HAM internasional.
"Serangan Israel tidak hanya merugikan hak-hak asasi manusia, tetapi juga merusak integritas hukum internasional dalam konflik bersenjata," tandasnya.
Melalui pendekatan yuridis, kebijakan Tiongkok terhadap Uighur bukan pelanggaran HAM, melainkan respons terhadap konflik politik ketatanegaraan. Ratifikasi konvensi internasional oleh Tiongkok menunjukkan komitmen pada kebebasan beragama.
Data menunjukkan peningkatan jumlah masjid dan kebebasan beragama di Xinjiang. Penelitian lapangan menunjukkan pertumbuhan signifikan, menyoroti bahwa tuduhan genosida mungkin tidak memiliki dasar empiris yang kuat.
"Penting untuk memahami konteks sejarah dan politik regional ketika mengevaluasi kebijakan Tiongkok terhadap Uighur, menghindari simpfikasi yang dapat mengaburkan pemahaman," paparnya.
Studi sejarah menunjukkan kelompok separatis Uighur selalu mencoba memisahkan diri dari Tiongkok dengan mengatasnamakan agama.
Tindakan keji, seperti pembunuhan imam besar Masjid Id Kah Xinjiang, menunjukkan bahwa gerakan ini tidak mencerminkan semangat Islam.
"Konflik dengan gerakan separatis memaksa pemerintah Tiongkok untuk mengambil langkah-langkah tegas demi menjaga stabilitas nasional," pungkasnya.
Inkonsistensi Abdulhakim Idris dalam menanggapi isu HAM antara Uighur dan Palestina membuka ruang pertanyaan terkait kesetiaannya pada prinsip-prinsip HAM. Konteks politik Amerika turut memunculkan dugaan adanya motif politik di balik sikapnya.
Sementara itu, melihat perspektif hukum internasional, penjajahan Israel atas Palestina lebih jelas sebagai pelanggaran HAM dibandingkan dengan respons Tiongkok terhadap Uighur yang mungkin lebih bersifat pencegahan konflik separatisme.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: