Bincang Doodle Exclusive Baby Care Bersama Bidan Novita Andia: Waspada Silent Disease Bisa Menyebabkan Stunting
Silent Disease menjadi momok bagi ibu muda. Angka stunting yang besar membuat Indonesia sedang menggalakan zero stunting tahun 2024 ini. Hal ini disampaikan oleh Bidan Novita Andia dalam bincang-bincangnya bersama Doodle Exclusive Baby Care.
Menurut Bidan Novita, stunting merupakan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan anak yang tertunda. Meskipun umumnya dikaitkan dengan faktor gizi, ada berbagai kontributor lain yang mempengaruhi stunting.
Setelah melakukan penelitian dan observasi, ditemukan bahwa beberapa penyakit berkontribusi pada terjadinya stunting, yang dikenal sebagai silent disease.
“Silent disease ini yakni penyakit yang tidak bergejala tetapi mengarah ke stunting. Ada salah satu penyakit kronik yang menyumbang terjadinya stunting yakni patuk pilek. Anak yang sering batuk pilek memang bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Setelah diobservasi banyak, ternyata ada beberapa penyakit yang tidak bergejala tetapi menyumbangkan untuk terjadinya stunting. Silent disease ini penyakit yang tidak bergejala secara fisik dan sering kali tidak disadari oleh orang tua dan akan sadar kalau sudah terdiagnosa. Awalnya biasa saja makan, tetapi semakin ke sini tumbuhnya tidak sesuai. Setelah dicari tau ternyata itulah menjadi penyebab stunting,” terangnya.
Owner Vidia Mom Baby Spa & Daycare mengatakan beberapa contoh penyakit silent disease di antaranya anemia pada anak, Flek paru atau Tuberkulosis (TBC), Infeksi Saluran Kencing (ISK). Flek paru terjadi pada anak termasuk dalam kategori TBC. Flek terjadi pada anak yang disebabkan karena polusi, orangtua merokok, tinggal diperumahan karena ventilasi yang kurang.
“Sedangkan penyakit Infeksi Saluran Kencing sering terjadi pada bayi, tidak bergejala. Gejalanya yang sering demam, juga penggunaan pampers. Idealnya penggunaan pampers 3 hingga 4 jam, iklan pampers sampai 8 jam inilah yang menyebabkan ISK. Ada juga penyakit jantung bawaan dan gagal hati. Tetapi dua penyakit ini sudah terlihat dari bayi. Yang tidak terlihat seperti anemia pada anak, Flek paru atau TBC, ISK,” tuturnya.
Berbicara tentang Anemia Defisiensi Besi (ADB), bidan yang juga terapis pijat bayi ini menjelaskan bahwa anak yang mengalami anemia mengalami kekurangan zat besi.
Mengapa anak mengalami ADB? Karena anemia pada ibu terjadi sejak dalam kandungan. Ini harus diwaspadai oleh ibu hamil, bukan hanya karena dampaknya pada proses persalinan tetapi juga pada perkembangan anak.
Baca Juga: Tangani Stunting Selamatkan Anak Bangsa
“Saat hamil sudah kekurangan zat besi kadar HB yang normal pada ibu hamil adalah 11 dibawah itu sudah termasuk anemia. Diusahakan ketika hamil memiliki HB yang stabil normal yakni di atas 11 supaya tidak ber-impact pada perkembangan anak. Anak yang ADB dimulai dari kehamilan ibu yang mengalami anemia,” katanya.
Selain itu, asupan gizi selama Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) juga berdampak. Memperkenalkan makanan padat menjadi tantangan bagi orang tua, memengaruhi mood anak, seperti Gerakan Tutup Mulut (GTM). Ketika GTM ditolak, asupan nutrisi berkurang. Pemilihan menu MPASI juga krusial, terutama bagi ibu yang bekerja yang mungkin memilih makanan instan atau buatan sendiri tanpa mengetahui kandungan nutrisinya. Oleh karena itu, perhatian diperlukan saat memberikan MPASI untuk memastikan kebutuhan nutrisi anak terpenuhi.
Wanita yang juga seorang Konselor Laktasi ini menuturkan bahwa faktor risiko ADB termasuk sering terjadi pada anak prematur dan berat badan rendah. Anak prematur dan berat badan rendah memiliki sistem tubuh yang belum matang namun sudah harus lahir.
Selain itu, anak yang memiliki penyakit kronis, sering batuk pilek, umumnya mengalami masalah asupan nutrisi yang tidak diedarkan dengan baik di dalam tubuhnya. Hal itu yang membuat sering terpapar virus dan sering mengalami diare atau batuk pilek. Nutrisi yang seharusnya sampai tidak mencapai target karena sering sakit.
Selain itu, obesitas pada anak juga tidak baik karena menjadi salah satu faktor ADB pada anak dan ketidaksesuaian pemenuhan nutrisi pada MPASI.
Di sisi lain, anak yang lahir prematur dan berat badan rendah memiliki cadangan zat besi yang sudah sedikit karena belum siap lahir. Sel darah merah pada anak yang lahir prematur dan berat badan rendah memiliki usia hidup lebih singkat atau lebih cepat rusak sehingga nutrisinya menjadi tidak seimbang.
“Meskipun memberikan nutrisinya baik tetapi saat penyebaran makanan keseluruh tubuh tidak maksimal. Karena yang mengedarkan sari-sari makanan dan oksigen ada zat besi dan sel darah merah, sehingga ketika sel darah merah sedikit dan cepat rusak maka nutrisnya yang harusnya sampai dan tidak menjadi maksimal yang membuat anak mengalami ADB,” tandasnya.
Dalam sesi Live bersama Doodle Exclusive Baby Care, Bidan Novita juga menjelaskan bahwa bayi yang mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) memiliki risiko lebih rendah terkena ADB dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan ASI. ASI merupakan nutrisi terbaik untuk anak karena mengandung zat besi dan lebih mudah diserap daripada zat besi dari luar melalui obat-obatan yang mengandung zinc dan besi. Anak yang mengonsumsi ASI memiliki risiko lebih kecil terkena ADB karena ASI mengandung zat besi yang mudah diserap.
“Untuk anak yang sudah diagnose ADB sudah harus diterapi dengan memimum tambahan suplemen zat besi. Kalau sudah mpasi tambahkan makanan yang mengandung zat besi seperti buah beat, bayam merah, daging merah. Mengandalkan dari bahan makanan juga tidak cukup dari proses banyak yang terbuang. Makanya kalau sudah didiagnosa ADB harus ada tambahan suplemen zat besi sampai dirasa hemoglobinnya dan pertumbuhannya sudah baik,” ungkap Bidan Novita.
Tenaga kesehatan yang berdominisili di Salatiga ini juga menjelaskan bahwa anak yang didiagnosis Anemia Defisiensi Besi (ADB) teridentifikasi dari pengenalan MPASI, dan berat badannya tidak meningkat. Tanda anak yang mengalami ADB atau flek paru mulai terdeteksi dengan kenaikan minimal 1 gram per bulan selama pengenalan MPASI, atau dalam satu tahun, peningkatan sebanyak 200 hingga 400 gram. Ketika berat badannya tidak sesuai dengan usianya, biasanya akan diarahkan untuk pemeriksaan laboratorium.
“Saat anak tidak mengalami ADB dalam hasil cek laboratorium kemudian akan dicek ke tuberkulosis apakah ada masalah pada parunya. Kalau anak tidak dicek tidak mengetahui apa penyebab anak tidak naik berat badannya. Untuk itu perlu dikonsultasikan sehingga supaya dicari tau penyebabnya dan tau bagaimana pencegahannya. Selain itu, orang tau harus aware terhadap kenaikan berat badan bayi atau anak mulai dari bayi hingga satu tahun. Karena seringnya terjadi mulai nol bulan hingga satu tahun,” ungkapnya lagi.
Diakhir perbincangannya, Bidan Novita menyarankan bahwa saat memutuskan untuk hamil, persiapan tidak hanya fokus pada kehamilan tetapi juga saat menyusui dan kelahiran anak.
Keputusan tentang program anak harus dipersiapkan dengan baik untuk menghindari peristiwa yang tidak diinginkan, seperti stunting. Faktor utamanya hanya dua, kebersihan lingkungan, dan asupan gizi. Yang perlu diperhatikan adalah 1000 hari pertama kehidupan seorang anak, termasuk pemberian ASI eksklusif, memastikan asupan gizi yang baik, dan menjaga kehamilan yang sehat. Semangat memerangi "Indonesia zero stunting" tetap menjadi prioritas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: