Komisi VII DPR RI tak kunjung membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan dan pengaktifan kembali izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Padahal sebelumnya Komisi VII berjanji akan segera membentuk Pansus untuk membongkar dugaan kasus Bahlil tersebut.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, jika Komisi VII tak merealisasikan wacana pembentukan Pansus tersebut, patut dicurigai ada kesepakatan politik di balik diamnya DPR.
"Kalau pansus layu sebelum berkembang artinya itu putusan politik yang berlatar belakang kepentingan tertentu. Bisa saja sudah ada deal-deal yang disepakati," kata Sugeng dihubungi, Rabu (13/3/2024).
Terlebih lagi, lanjut Sugeng, Pansus sarat dengan kepentingan politik, seperti hak angket yang juga dibentuk oleh para anggota dewan.
"Pansus, angket, interpelasi adalah proses politik. Politik sangat dinamis dan selalu sarat kepentingan pembagian kue kekuasaan yang bisa diwujudkan dengan konsesi dan kesepakatan tertentu," ucapnya.
Sugeng mengatakan, Komisi VII harus bersikap tegas merespon hal tersebut. Sebab, Bahlil juga diduga meminta fee sebesar Rp25 miliar kepada pengusaha tambang yang ingin mengaktifkan perizinannya.
Menurut dia, dengan adanya pansus diharapkan dapat membongkar kasus tersebut. Sehingga tidak hilang begitu saja tanpa dilakukannya penyelidikan dari DPR.
"Ini berbeda dengam aksi hukum. Kalau ada bukti laporkan ke APH (Aparat Penegak Hukum) untuk diselidiki sebagai dugaan tindak pidana," terangnya.
Selain itu, Sugeng juga meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut menyelidiki dugaan kasus upeti yang dilakukan Bahlil tersebut tanpa menunggu laporan. Sebab, dalam kasus itu ada indikasi penyalahgunaan wewenang.
"KPK saat ini pasti sedang pulbaket walau belum ada laporan resmi. Karena ini isunya terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan. Dan saya malah sarankan kalai ada bukti dugaan korupsi dalam jabatan laporkan ke penegak hukum yaitu ke KPK atau Kejakksan Agung dan Polri," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan bahwa KPK mulai menelaah informasi mengenai dugaan korupsi Menteri Bahlil di sektor perizinan tambang nikel.
Menurut dia, saat ini laporan tersebut sedang dipelajari Direktorat Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK.
“Sementara kami perintahkan ke Dumas supaya melakukan telaahan untuk klarifikasi,” kata Alex di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Alex mengatakan, pihaknya belum berencana memanggil Bahlil untuk meminta klarifikasi, apalagi informasi awal mengenai kasus ini bersumber dari laporan Majalah Tempo.
Menurut dia, KPK sedang menggali informasi dari berbagai sumber terkait kasus tersebut, termasuk berkoordinasi dengan Kementerian Investasi. Misalnya, bagaimana proses pengawasan bisnis nikel, pengawasan pencabutan izin tambang nikel, dan sebagainya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: