Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhammad Farhan menegaskan pentingnya keterlibatan publik dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menghasilkan kebijakan yang lebih sempurna.
"Saya kira masukan masyarakat sangat penting, proaktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan revisi UU Penyiaran," ujar Farhan, dilansir dari keterangan tertulis pada Minggu, (26/5)
Baca Juga: Kampus Jogja Mulai Menolak RUU Penyiaran, Siapa Menyusul?
Farhan menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran ini berawal dari persaingan antara lembaga berita yang menggunakan platform terestrial dan jurnalisme digital. Dalam revisi UU ini, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi krusial.
"Ini, kan, lagi perang ini. Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran terestrial," jelas politisi Fraksi Partai NasDem ini.
Menurut Farhan, penyiaran terestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF, seperti penyiaran analog, namun dengan format konten digital. Namun, KPI dan Dewan Pers tidak memiliki kewenangan terhadap platform digital. Lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftar ke Dewan Pers berada di bawah kewenangan Dewan Pers.
"Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di platform digital makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini," tambahnya.
Farhan menguraikan risiko bagi lembaga jurnalistik digital yang tidak mendaftar ke Dewan Pers. Jika lembaga tersebut menghadapi tuntutan hukum, mereka tidak akan mendapatkan perlindungan berdasarkan UU Pers karena tidak terdaftar.
"Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh misalkan saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia karena tidak terdaftar di Dewan Pers, kira-kira begitu," kata Farhan.
Revisi UU Penyiaran ini telah menuai kontroversi, khususnya Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal tersebut:
Baca Juga: Dulu Indonesia Jaya dengan Satelit-satelitnya, Kini dengan Starlink jadi Tidak Berdaya
"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS (Standar Isi Siaran) memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: