Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kampus Jogja Mulai Menolak RUU Penyiaran, Siapa Menyusul?

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Telematika & Multimedia Independen

Kampus Jogja Mulai Menolak RUU Penyiaran, Siapa Menyusul? Kredit Foto: KPI
Warta Ekonomi, Jakarta -

Alhamdulillah, setelah sempat ditunggu-tunggu semenjak minggu lalu (baca: tulisan saya "Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam?" Rabu 15/05/24) kampus perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka para cendekia mulai bicara. Meski tidak terkait langsung dengan RUU (Rancangan Undang-undang) Penyiaran kontroversial yang sedang dibahas ini, namun tidak sedikit dari jurnalis bahkan pemilik media juga dulunya berawal dari aktivis pers kampus, sehingga mereka memiliki tautan pemikiran yang sama, setidak-tidaknya sejalan.

Adalah UII (Universitas Islam Indonesia, yang dulu juga ketika para civitas akademika di seluruh Indonesiabergerak menyuarakan keprihatinan bangsa menjadi salah satu kampus pelopornya, pasca putusan MK (Mahkamah Konstitusi) 90 yang melahirkan apa yang sempat disebut-sebut sebagai "anak haram konstitusi", kini kembali bersuara. Kampus swasta yang usianya hampir sama dengan republik ini, yakni 79 tahun semenjak 08/07/1945, kini mulai bergeliat. Bertempat di lantai 3 kampus UII Cik Ditiro digelar diskusi terbuka menyambut 26 tahun reformasi 1998, hari ini (21/05/2024).

Baca Juga: Revisi UU Penyiaran Baru: Youtube & Tiktok Diatur Sebelum Tayang

Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Penyelamat Media & Demokrasi, Forum Cik Ditiro, Sejagad, ini menampilkan Direktur Pusat Studi Hukum & Hak Azasi UII, Mas Eko Riyadi SH MH, Mbak Pito Agustin Rudiana Jurnalis Tempo dan Mas Antonius Darmanto seorang senior salam bidang perundang-undangan, khususnya UU Penyiaran semenjak era reformasi silam. Dihadiri juga oleh Mas Prof Adink Masduki & Mas Puji Riyanto SIP, MA selaku civitas akademika UII diskusi cukup komprehensif dan berlangsung sekitar 2 jam mulai 10.30 sd 12.30 WIB.

Secara sistematis mas Eko dan mbak Pito memaparkan poin-poin dalam RUU Penyiaran kontroversial tersebut yang pada intinya RUU sudah menodai era reformasi yang berjalan lebih dari seperempat abad sekarang dan bahayanya jika RUU ini tetap diteruskan akan merusak demokrasi dan membuat bangsa ini mundur ke belakang lagi. Disebutkannya bahwa kehidupan pers yang bebas namun bertanggungjawab saat ini akan menjadi kenangan dan bahkan penyelenggaraan diskusi semacam yang sedang dilaksanakan pun tidak boleh diselenggarakan sama sekali.

Secara detail mas Darmanto kemudian menyampaikan bahwa ide rezim ini untuk mencabut kembali kemerdekaan pers dan merusak lembaga penyiaran publik sebenarnya sudah ada saat penyusunan RUU Cilaka (yang kini jadi UU Ciptaker), dimana dia kemudian mengajak masyarakat untuk melihat Paragraf 15, Pasal 72 di UU yang kini banyak menimbulkan gejolak khususnya dibidang tenaga kerja tersebut. Jelasnya sekarang lembaga penyiaran sudah dibuat menjadi bagian dari produk kapitalis dan tidak ada tempat lagi bagi lembaga penyiaran komunitas.

Meski RUU Penyiaran ini ada perlunya juga untuk menambah bentuk lembaga penyiaran digital, namun hakikat dari kelembagaan penyiaran (termasuk LPP (Lembaga Penyiaran Publik)) sudah berubah dari semangat UU Penyiaran No. 32/2002 yang dibuat pasca reformasi itu. Lebih fatal lagi menurut sosok yang dikenal sering menulis buku ajar tersebut adalah bahwa RUU Penyiaran ini berbahaya karena menghilangkan sifat ke-Indonesiaan, termasuk nilai-nilai Pancasila yang dikandung di dalamnya. Menurutnya UU Ciptaker sudah mulai (merusak), RUU ini menyempurnakan (kerusakan) tersebut.

Lebih tajam lagi dikupasnya Pasal 50B yang paling kontroversial di RUU Penyiaran ini bukan hanya soal pelarangan bentuk jurnalisme investigatif, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan pemilik lembaga penyiaran hubungannya dengan warna politisnya, termasuk soal yang saya juga sudah sampaikan dalam tulisan sebelumnya yakni adanya upaya "penyelundupan" hal-hal yang sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE ( Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang pencemaran nama baik, kabar bohong dan sebagainya di dalam RUU ini. Intinya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tampak sangat dikuatkan menjadi seperti KPU-KPUD (Komisi Pemilihan Umum-Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan jelas munculnya paradigma otoritarian & sentralistik kembali yang dulu sebenarnya dihindari di era reformasi.

Soal pengesahan RUU Penyiaran kontroversial yang sangat tampak tergesa-gesa ini juga dipandang aneh, karena meski RUU ini sempat timbul tenggelam dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) selama beberapa periode DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat), namun diujung rezim sekarang ini pembahasan dan penambahan pasal-pasal serta ayat-ayat yang non-reformis tampak sangat kental. Oleh karenanya ketiga pembicara sepakat untuk menyampaikan sikap mereka menolak RUU Penyiaran sebagaimana yang tersurat dalam Naskah Harmonisasi Baleg 27/03/2024 tersebut ditolak agar demokrasi tetap terjaga. Diskusi kemudian berlanjut dengan aksi teatrikal khas Jogja di perempatan ex korem tidak jauh dari lokasi gedung diskusi.

Meski diskusi sempat berjalan baik sayangnya dikotori oleh ulah seorang provokator yang sebelumnya mengaku-ngaku "aktivis Forum Cik Ditiro" namun belakangan dikonfirmasi oleh panitia penyelenggara hanya simpatisan saja, yang sempat berorasi namun kudet (Kurang Update), mungkin sudah frustrasi dilihat dari penampilannya yang acak-acakan & malah mengusung issue-issue di luar topik diskusi, misalnya soal Keistimewaan Jogja & Status Politik. Oknum yang diketahui berinisial DD akhirnya keluar ruangan sendiri setelah provokasinya tidak laku di depan audience, makanya hati-hati akan ulah susupan semacam ini. Karena dimana-mana bisa terjadi, kemarin di acara Nobar & Diskusi Film "Dirty Election" juga hampir ada ulah serupa namun tidak sevulgar (baca: sebodoh) yang di Jogja barusan.

Baca Juga: AJI: Revisi UU Penyiaran Akan Bawa Masa Depan Jurnalisme di Indonesia menuju Kegelapan

Kesimpulannya, perjuangan masih panjang dan akan berat bilamana para pakar, akademisi, civitas akademika kampus termasuk mahasiswa dan masyarakat yang masih berpikiran waras diam saja tidak respons dengan kondisi yang sekarang terjadi. Jelas sekali di depan mata perubahan-perubahan aturan yang non-reformis gencar dikejar tayangkan seperti misalnya RUU MK (Mahkamah Konstitusi), RUU Kelembagaan/Ketatanegaraan dan RUU Penyiaran ini. Di tengahnya hati-hati juga akan provokasi seperti yang dialami dalam diskusi di APDI kemarin dan UII hari ini, terapi itu semua justru membuat bara semangat makin menjadi. Panjang umur reformasi, jangan biarkan mati di hadapan tirani yang isinya hanya kolusi, korupsi & oligarki ...

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: