Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan tabungan atau dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan pada Desember 2023 berada di level 3,8% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Meski terlihat tumbuh, DPK yang dicapai industri perbankan tahun 2023 tergolong kecil jika dibandingkan 5 periode sebelumnya. Pada Desember tahun sebelumnya, DPK industri perbankan ada di level 9,3%, di periode 2021 sebesar 12,1%, 2020 di angka 11,3%, dan 2019 sebesar 6,4%.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior & Peneliti, Poltak Hotradero menilai, pertumbuhan terbatas dana pihak ketiga (DPK) terjadi lantaran industri perbankan masih malakukan konsolidasi.
Adapun pertumbuhan yang ada, kata Poltak, terjadi tidak menyeluruh lantaran tiap daerah mengalami dinamika perekonomian yang berbeda-beda. Menurutnya, hal itu terjadi akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia di tahun 2020 lalu.
“Jadi sebenarnya boleh dikata efek pandemi itu masih cukup besar,” kata Poltak saat ditemui wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (30/5/2024).
Di Bali sendiri, kata Poltak, belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Jika dibandingkan Sulawesi Tengah, pertumbuhan ekonomi di Bali berada di level yang lebih rendah meski memiliki keadaan yang berbeda.
“Jadi dalam pandangan saya sih sebenarnya ini masih dalam periode konsolidasi untuk bisa meningkatkan tabungan masyarakat DPK-nya itu meningkat,” jelasnya.
Kendati begitu, Poltak menilai masyarakat perlu mengenal lebih dekat dengan sistem keuangan digital. Menurutnya, penggunaan sistem keuangan digital lebih mengurangi risiko inefisiensi uang kartal.
Baca Juga: Bank DBS Indonesia Dorong Hilirisasi dan Bisnis Berkelanjutan
Dengan keuangan digital, kata Poltak, industri perbankan dapat mengoptimalkan Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO). Sementara pengunaan uang kartal sendiri dinilai inefisiensi lantaran industri perbangkan perlu memelihara ATM dan kantor cabangnya.
Berkaca pada China saat masa pandemi Covid-19 melanda dunia, tutur Poltak, perputaran uang di Kota Wuhan terus berlangsung melalui sistem keuangan digital kendati mobilitas masyarakat saat itu terhenti.
“Itu membuktikan bahwa ternyata keuangan digital bisa dan sejak peristiwa tahun 2020 wuhan lockdown sampai dengan sekarang China itu mengurangi jumlah ATM mereka sampai dengan 150 ribu sampai 200 ribu per tahun,” jelasnya.
Poltak menilai, penggunaan uang kartal menjadi salah satu bagian dari inefisiensi dalam industri keuangan. Dengan sistem ekonomi digital, dia meyakini perbankan mampu kembali memacu DPK yang setara dengan 2019.
“Kalau memang kita bisa lebih dekat kearah keuangan digital itu bisa lebih cepat siklusnya. Dan memang tujuannya untuk menabung juga bisa lebih cepat recover,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: