Perkumpulan Telapak Indonesia (Telapak) mengklaim tak ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di lingkungan 5 desa yang masuk dalam lingkar kawasan konsesi pertambangan di Blok Tanamalia PTVI.
Klaim ini diutarakan Telapak setelah melakukan investigasi langsung ke lapangan yang dimulai sejak Mei 2024 hingga bulan Juni 2024.
Kendati tak ada pelanggaran HAM, namun Telapak sendiri melihat adanya tanda-tanda yang mengarah ke sana. Untuk itu, langkah mitigasi segera dilakukan sebelum hal itu terjadi. Telapak memberi sejumlah rekomendasi demi meminimalkan pelanggaran HAM serta konflik agraria di kawasan itu.
Ketua Tim, Telapak Muhammad Djufryhard mengatakan setidaknya ada tiga rekomendasi yang diberikan pihaknya rekomendasi pertama yakni meminta pihak PTVI segera melakukan musyawarah dengan warga setempat. Duduk bareng dapat membuat kedua belah pihak menemukan jalan tengah untuk meminimalkan konflik horizontal yang dapat berimbas pada pelanggaran HAM.
Meski demikian upaya duduk bersama mesti difasilitasi pihak-pihak netral, dia bahkan meminta agar pihak PTVI tidak melibatkan aparat keamanan, sebab hal itu justru memberi kesan intimidatif kepada masyarakat.
“Mengedepankan upaya dialog terbuka dan mediasi dengan melibatkan tokoh desa atau mediator independen yang dipercaya oleh semua pihak dalam penyelesaian konflik tanpa keterlibatan aparat keamanan negara (TNI/Polri),” kata Djufryhard saat jumpa pers di kawasan, Sabang, Kebon Sirih, Jakarta Pusat Jumat (14/6/2024).
Selain mengedepankan dialog, PTVI juga direkomendasikan melakukan pemberdayaan masyarakat setempat, serta memberi pendampingan terkait pemahaman ekonomi. Hal ini untuk menekan budaya konsumtif masyarakat yang kerap berfoya-foya ketika mendapatkan hasil panen terutama panen lada di mana masyarakat dapat meraup untung yang berlipat ganda.
Baca Juga: Laporan Pelanggaran HAM di AS: Ada 654 penembakan massal Selama 2023
Djufryhard menyebut, masyarakat setempat sama sekali tidak keberatan dengan rekomendasi tersebut. Mereka bersedia mendengarkan pihak PTVI. Mereka juga tak keberatan mendiskusikan kesepahaman dan kesepakatan pengelolaan perkebunan merica yang beririsan dengan blok tambang PTVI melalui model sistem kemitraan.
"Melakukan kemitraan, pemberdayaan, pendampingan dan penguatan kapasitas ekonomi serta penghidupan masyarakat melalui model kemitraan dalam pengelolaan kawasan perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi serta memfasilitasi adanya kelembagaan ekonomi yang mandiri dan kuat di tingkat desa,” pintahnya.
“Membangun sarana prasarana penunjang bagi peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil panen kebun merica sehingga menghasilkan lada yang berkualitas baik dan mendorong lahirnya rumah produksi turunan produk lada tersebut untuk menaikkan harga jual dan membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat," tambahnya.
Berikutnya, Telapak memberi rekomendasi Pemkab Luwu Timur, untuk bersedia dan mampu memposisikan diri sebagai mediator dalam membangun dialog terbuka antara masyarakat dengan PTVI guna proses penyelesaian konflik tata kelola lahan di Blok Tanamalia.
“Rekomendasi ke Pemkab Luwu Timur dengan harapan bisa mendorong lahirnya sistem kemitraan pengelolaan kawasan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mitigasi konflik tata kelola sumber daya alam,” tambahnya.
Di tempat yang sama. Wakil Ketua Tim, Martian Sugiarto, tujuan investigasi yang digelar Telapak adalah untuk mencari tahu ada tidaknya pelanggaran HAM di kawasan tersebut. Faktanya sejauh ini tak ditemukan adanya indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan PTVI kepada masyarakat.
“Hasil kajian menunjukkan fakta belum ada satupun perkebunan merica yang dikelola masyarakat yang diserobot oleh PTVI. Masyarakat masih tetap beraktifitas mengelola perkebunan merica mereka dengan aman. Tidak ditemukan rekaman atau catatan bentuk kekerasan, pemaksaan, pengusiran bahkan peringatan untuk pengosongan kepada masyarakat yang dilakukan oleh PTVI,” bebernya.
“Kami juga tidak melihat konsentrasi aparat keamanan (TNI/Polri) di desa lingkar tambang sekitar kawasan konsesi PTVI atau yang menjaga keamanan di lokasi Blok Tanamalia. Tidak ada pemasangan tanda batas atau pemagaran yang menandakan batas wilayah konsesi perusahaan atau pelarangan pada masyarakat untuk memasuki kawasan perkebunan merica yang berada dalam wilayah konsesi,” tambahnya.
Martian Sugiarto melanjutkan, sampai saat ini kondisi masyarakat di Desa Loeha dan Rante Angin (area IUP Eksplorasi PTVI) tampak tentram, tidak ada tanda-tanda kecemasan maupun konflik antara perusahaan dan masyarakat.
Baca Juga: Menkumham Serahkan Penghargaan Kepada Insan KI 2024
Dengan adanya temuan fakta tersebut Martian Sugiarto menegaskan, bahwa berbagai berita mering yang menuding PTVI melakukan pelanggaran HAM serta merebut lahan merica milik warga untuk dijadikan kawasan tambang adalah tudingan tak berdasar, itu adalah berita tak benar.
“Selama beberapa tahun, Pemerintah 5 Desa di Loeha Raya telah membangun kerja sama dengan PTVI melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Program CSR tersebut diperuntukkan untuk membangun sarana prasarana lintas desa, fasilitas olahraga, demplot kebun merica, wisata desa dan pengembangan UMKM desa,” tegasnya.
Martian Sugiarto melanjutkan dari aspek perizinan, PTVI adalah perusahaan sudah memiliki hak pengelolaan pertambangan melalui kontrak karya, yang pada Mei 2024 diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Jadi dapat disimpulkan perusahaan sudah melakukan tahapan aktivis yang difasilitasi oleh organisasi independen dalam tata kelola lahan perkebunan merica dan menerima program pemberdayaan serta pendampingan dari PTVI untuk penguatan ekonomi dan penghidupan keluarga yang mengedepankan prinsip keterbukaan, keadilan antar pihak serta keberlanjutan konservasi alam yang lebih baik lagi,” tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: