Harga minyak mentah atau crude oil terus mengalami penurunan yang signifikan pada Selasa (6/8/2024). Hal tersebut didorong oleh meningkatnya kekhawatiran akan resesi Amerika Serikat (AS) dan aksi jual pasar yang lebih luas. Kendati pasokan minyak mentah dikhawatirkan akan terganggu lantaran adanya konflik di Timur Tengah, namun sentiment negatif seputar prospek perekonomian global menutupi risiko geopolitik tersebut.
Melansir dari laman Business Time, Selasa (6/8/2024), harga minyak mentah berjangka Brent turun senilai 1,4% atau sekitar US$1,07 menetap di US$75,74 per barel pada tengah hari GMT atau mendekati level terendah sejak Januari.
Baca Juga: Efeknya Ngeri, Indonesia Khawatir Amerika Serikat Alami Resesi
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS pada saat yang sama juga menurun menjadi US$1,18, atau 1,6%, menjadi US$72,34 per barel.
Penurunan harga minyak ini terjadi selaras dengan penurunan signifikan di pasar saham Asia yang mana ketakutan akan terjadinya resesi di AS mendorong investor untuk meninggalkan sejumlah asset yang berisiko. Di sisi lain, untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi, juga perlu antisipasi dari penurunan suku bunga yang agresif.
“Kekhawatiran terhadap resesi AS yang dipicu oleh lemahnya laporan payrolls bulan Juli pada hari Jumat hanya menambah kekhawatiran permintaan China yang telah bertahan di pasar minyak selama beberapa waktu,” kata Warren Patterson dan tim analisnya di ING dalam catatan kliennya.
Jatuhnya harga minyak yang dimulai pada hari Jumat, menurut Oil Price, disebabkan oleh kekhawatiran baru terhadap resesi AS akibat melemahnya laporan gaji bulan Juli lalu.
Selama beberapa waktu, kekhawatiran akan permintaan dari China diketahui telah membebani harga minyak. Ditambah dengan ketakutan akan resesi di AS hanya akan menambah tekanan pada harga minyak saja.
Perekonomian AS memang mengkhawatirkan seluruh dunia. Dengan jatuhnya berbagai saham Asia, sementara Nikkei mencatat terjadinya penurunan terbesar yang pernah ada, hal tersebut melampaui kehancuran yang terjadi pada bulan Oktober 1987 setelah Black Monday di New York.
Kendati kekhawatiran terhadap permintaan mendorong sentiment pasar minyak, namun risiko geopolitik masih membayangi dengan sangat nyata. Misalnya, saat ini Israel sedang mempersiapkan potensi serangan balasan dari Iran, dan AS yang kembali ikut campur dengan mengirimkan bala bantuan pertahanan ke wilayah tersebut.
Baca Juga: Harga Minyak Jelantah Internasional Tembus Rp10 Ribu per Liter, Pemerintah Didorong Hilirisasi
Kedutaan Besar AS di Lebanon telah mendesak warga negaranya untuk meninggalkan negara tersebut sesegera mungkin, yang semakin menyoroti risiko eskalasi di wilayah tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: