- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Ikhtiar Memperbaiki Tata Kelola Industri Kakao, Jangan Sampai Tumbalkan Sawit!
Kredit Foto: Antara/Fikri Yusuf
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak tahun 2019, produksi kakao Indonesia terus menyusut. Produksi kakao di tahun 2019 mencapai 774,2 ribu ton, kemudian pada tahun 2020 turun ke 720,6 ribu ton.
Produksi perlahan menurun ke angka 688,21 ribu ton di tahun 2021, berkurang menjadi 650,6 ribu ton di tahun berikutnya, hingga pada tahun 2023 produksinya hanya 641,7 ribu ton.
Baca Juga: Tantangan Industri Sawit dalam Hadapi La Nina, Bakal Pengaruhi Harga CPO?
Atas hal tersebut, Indonesia terpaksa legowo melepaskan kebanggaannya sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia pada tahun 2019-2020 serta tahun-tahun sebelumnya. Indonesia juga harus puas berada di posisi ketujuh sebagai produsen terbesar kakao dunia di tahun 2021-2022.
Salah satu penyebab yang menyebabkan penurunan tersebut selain luas lahan yang menyusut, adalah turunnya produktivitas akibat tanaman tua dan aneka penyakit yang menyertainya. Di tahun 2022, BPS mencatat luas perkebunan kakao hanya tersisa 1,42 juta hektare dari 1,61 juta hektare di tahun 2018 akibat alih fungsi ke komoditas lain yang dianggap memberi keuntungan lebih.
Sebenarnya, masalah penurunan produksi kakao sudah lama diidentifikasi oleh pemerintah. Hal ini tercermin dari program Gerakan Nasional Peningkatan Mutu dan Produksi Kakao (Gernas Kakao) yang dimulai pada tahun 2008. Program tersebut menelan biaya Rp1 triliun selama tiga tahun.
Program tersebut pernah diperpanjang dengan anggaran yang lebih besar. Pada Kamis (14/5/2025) silam, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla menyebut anggaran Rp1,2 triliun agar program bisa diimplementasikan lebih luas. Langkah tersebut mendukung target pemerintah produksi kakao naik hingga 50% pada tahun 2020.
Bahkan, baru-baru ini, sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan meningkatkan produktivitas kakao, pemerintah akan menambah tugas baru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang mengurusi komoditas kakao dan kelapa.
Komitmen Perbaikan Tata Kelola Komoditas
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, alasan pemerintah memasukkan pengelolaan kakao ke dalam BPDPKS lantaran untuk memperbaiki tata kelola komoditas kakao.
Apalagi, industri hilir dari kakao saat ini sudah mulai berkembang dengan rerata kapasitas produksi di kisaran 600 – 800 ribu ton per tahun. Akan tetapi, karena adanya penurunan produksi di sektor hulu, impor kakao terpaksa dilakukan untuk memenuhi kapasitas di sektor hilir.
“Saat ini kapasitas industri (hilir) kakao sekitar 600-800 ribu ton. Karena produksinya menurun, akhirnya kita impor kakao. Nah, sekarang ini harga kakao lagi tinggi, kita kehilangan kesempatan. Untuk percepatan membangkitkan lagi perkebunan kakao, dimasukkanlah ke dalam lingkup BPDPKS,” jelas Dida, Senin (5/8/2024).
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif mengklaim jika usulan kelembagaan kakao serta kelapa dicetuskan pertama kali oleh Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sebuah sesi rapat kabinet beberapa waktu yang lalu.
Adanya kelembagaan baru tersebut, kata Febri, diharapkan bisa meningkatkan produksi perkebunan kakao dan bisa memberi dampak juga terhadpa nilai tambah setelah hilirisasi. Namun, karena kelembagaannya masih tergolong baru, Febri tidak bisa secara rinci menjelaskan iuran yang ditarik dan belum ada dana yang dikelola.
"Makanya dia (kakao) diikutkan ke BPDPKS. Maka waktu itu rapat kabinetnya dibentuk kedeputian kakao dan kelapa, jadi kami dukung itu,” terang Febri ketika ditemui, Senin (5/8/2024).
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan adanya sederet hal yang tengah pemerintah rapihkan saat ini.
Baca Juga: Kementan: Integrasi Sawit dan Padi Gogo Miliki Beragam Potensi dan Keuntungan
“Kita tidak melihat siap atau tidaknya. Kalau tidak siap ya kita siapkan. Intinya kakao ini perlu didukung, konsep teknisnya seperti apa itu sedang dalam pembahasan internal,” paparnya.
Dengan kata lain, rencana memasukkan pengelolaan kakao ke dalam tubuh BPDPKS masih dalam tahap pembahasan. Pihaknya sendiri tidak bisa memprediksi kapan hal tersebut bisa terealisasi. Menurut dia, pemerintah masih harus mempersiapkan secara matang mengenai sisi regulasi, program peremajaan kakao, hingga pada skema pembiayaan kepada perkebunan kakao.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tahapan pembahasan itu bakal lebih intens dilakukan di masing-masing kementerian/lembaga terkait untuk kemudian didiskuiskan dalam satu meja bersama guna menyepakati common goal pengelolaan kakao nasional.
Rencana yang Salah Tujuan
Terkait rencana peleburan BPDPKS, beberapa pihak mengaku masih menyimpan kekhawatiran soal hal tersebut. Pasalnya, BPDPKS dianggap belum begitu sukses mengelola perkebunan kelapa sawit.
Menurut keterangan dari Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, BPDPKS pada dasarnya punya tugas mengumpulkan dana dari perkebunan kelapa sawit, khususnya dari ekspor. Dengan dana yang besar, salah satu tujuan dari BPDPKS tak lain adalah untuk meremajakan sawit rakyat.
Dwi mengaku menyayangkan dana kelolaan BPDPKS dalam pelaksanaannya sangat sedikit yang digelontorkan untuk meremajakan kelapa sawit. Dana tersebut kebanyakan justru digunakan untuk subsidi biosolar atau jauh melenceng dari tujuan awalnya.
“Jadi kalau digabungkan berarti menjadi satu kesatuan. Kalau kemudian dananya digulirkan lagi hanya untuk program subsidi biodiesel, lalu apa manfaatnya? Saya khawatir tujuan awalnya untuk peremajaan kakao juga tidak tercover,” ucap Dwi ketika ditemui, Senin (5/8/2024).
Setiap komoditas perkebunan, ucap Dwi, punya karakteristiknya masing-masing termasuk kakao. Lain halnya dengan kelapa sawit yang didominasi oleh perusahaan raksasa, sebanyak 90% perkebunan kakao justru merupakan perkebunan rakyat atau kelolaan petani.
Oleh sebab itu, dia menilai subsidi tersebut dialihkan untuk peremajaan kebun kakao. Pasalnya, komoditas kakao sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah.
Mantan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono pun mengamini bahwa selama ini kinerja BPDPKS belum seefektif yang diharapkan. Anton mengamini Dwi bahwa dana yang dikelola BPDPKS dari perkebunan kelapa sawit lebih banyak digunakan untuk biodiesel dan dikuasai oleh konglomerat.
Alhasil, kondisi tersebut membuat beberapa target dari BPDPKS banyak yang tidak tercapai khususnya terkait replanting kebun kelapa sawit.
“Misalnya uang BPDPKS larinya ke mana coba banyaknya? Masa tidak tahu? Ke Biodiesel. Biodiesel punya siapa? Konglomerat,” imbuhnya.
Tanpa bermaksud mengesampingkan dampak positif dari biodiesel, dirinya menjelaskan pengelolaan dana tersebut akan jauh lebih bermanfaat apabila disalurkan kepada para petani.
“Biodiesel memang nantinya untuk masyarakat juga, tapi di sana sudah ada pengambilan keuntungan dong. Bukan berarti biodiesel tidak bermanfaat, bermanfaat. Tetapi, manfaatnya akan lebih kalau untuk jutaan orang, jutaan petani kakao. Jangan sawit saja, apalagi kalau sawitnya lari ke biodiesel sebagian besar, aduh sayang banget berapa itu yang mendapat keuntungan," papar Anton.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni, mengaku secara umum mendukung langkah pemerintah memasukkan pengelolaan kakao ke dalam BPDPKS dalam rangka mengembalikan era kejayaan komoditas tersebut.
Kendati demikian, dirinya mengungkapkan hingga saat ini pihaknya tidak pernah mendapatkan undangan dari pemerintah guna membicarakan hal tersebut. Padahal, pihaknya mengaku mengantongi sederet catatan penting untuk mewujudkan misi pemerintah dalam membenahi komoditas kakao.
"Saya belum pernah diundang secara khusus obrolin itu, belum ada. Malah yang bukan petani yang diajak ngobrol, saya tidak tahu itu,” ungkapnya, Selasa (6/8/2024).
Oleh sebab itu, dirinya mengingatkan kepada pemerintah agar jangan mengulangi kesalahan yang terjadi pada Gernas Kakao di masa lalu. Pasalnya, dia merinci ada satu catatan besar mengenai pengelolaan kakao yang dilakukan oleh lemabaga yang tidak berkompeten di tengah minimnya keberhasilan program Gernas Kakao di era 2010 – 2011 silam.
“Yang kita lakukan di 2010-2011 itu sudah cukup berhasil, tapi ada catatan itu bisa terulang lagi, salah satunya kan dikelola oleh lembaga atau badan yang tidak kompeten. Itu terjadi dulu,” terang Arief.
Arief menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh abai terhadap status kakao Indonesia yang semakin ke sini kian memprihatinkan. Arief membeberkan bahwa pemerintah harus memberi perhatian penuh untuk mengatasi tantangan yang menghambat pengembangan hulu industri kakao mulai dair menuanya tanaman kakao, alih fungsi lahan perkebunan, hingga menurunnya produktivitas akibat kondisi cuaca.
Baca Juga: BPDPKS Diyakini Bisa Mengembalikan Masa Emas Kakao Indonesia
Di atas kertas, APKAI total lahan perkebunan kakao Indonesia sebenarnya mencapai 1,3 juta hektare. Tetapi di lapangan, kemungkinan bisa lebih kecil 307 hektare atau di kisaran 1 juta hektare. Alih fungsi lahan terhadap lahan kakao, minim pelaporan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: