Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        FGD Economy Outlook 2025: Catatan Kritis terhadap Tingginya Target Ekonomi Prabowo-Gibran

        FGD Economy Outlook 2025: Catatan Kritis terhadap Tingginya Target Ekonomi Prabowo-Gibran Kredit Foto: WE
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan target pertumbuhan ekonomi yang sangat optimis, yakni 8 %. Belum lagi sederet program dan target lainnya yang juga dirasa cukup ambisius.

        Pro dan kontra atas target tersebut mendorong dilangsungkannya sebuah diskusi untuk menganalisa probabilitas tercapainya ambisi tersebut melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Membedah Realitas di Balik Target Ekonomi Prabowo-Gibran” di Jakarta (13/8).

        yang menghadirkan keynote speaker editor buku Strategi Transformasi Bangsa karya Prabowo Subianto, Dirgayuza Setiawan; teknokrat Indonesia & mantan Deputi Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah; dan ekonom senior Indonesia Financial Group (IFG) & Peneliti Sekolah Kajian dan Strategis Global UI, Ibrahim Kholilul Rohman, serta panelis yang berasal dari lebih 20 institusi terkait.

        Isu besar dalam forum diskusi ini adalah rencana calon presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 %. 

        Dirgayuza, selaku bagian dari Tim Khusus Prabowo-Gibran, menyebut target ini berlandaskan upaya agar tidak jatuh dalam middle income trap, seperti Thailand.

        “Thailand sudah resmi masuk middle income class,” ujar Dirgayuza dalam sesi diskusi panel yang diselenggarakan oleh Tirto.id bekerja sama dengan Pranadipta Consulting di Hotel GranDhika Iskandarsyah pada Selasa (13/08/2024).

        Dirgayuza menjelaskan bahwa Indonesia memiliki waktu yang sangat singkat untuk tumbuh sekian persen, seperti yang ditargetkan.

        “Kenapa Pak Prabowo pasang angka 8 persen? Karena kalau kita tidak segera tumbuh di 8 persen, kita akan selamanya menjadi negara middle income,” imbuhnya.

        Ia menyebut target tersebut sebagai langkah menuju pertumbuhan ekonomi untuk mengejar angka kemiskinan ekstrem di 0 persen dan angka kemiskinan nasional di bawah 6 persen.

        “Dari rencana kerja pemerintah, kita punya 320 Program Asta Cita, 17 program prioritas dan 8 program terbaik hasil cepat, yang mau Pak Prabowo kerjakan. Dari setiap program ini, kita berpikir berdasarkan peta tantangan saat ini, desain program, dan contohnya,” tambahnya.

        Berbagai pakar memiliki pandangan yang berbeda terkait target optimis pertumbuhan ekonomi paslon terpilih, tetapi sebagian percaya bahwa Indonesia memiliki potensi terhadap pertumbuhan ini dengan strategi yang tepat.

        Edwin menambahkan bahwa perdebatan mengenai kemampuan atau ketidakmampuan Indonesia hanya akan meninggalkan Indonesia di belakang.

        “Kalau kita debat realita, mungkin atau tidak, then we’re not going to achieve that. Tapi kalau kita menerima, then we’re walking forward to that direction,” pungkasnya.

        Ibrahim, selaku ekonom senior, menjelaskan bahwa memungkinkan bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Namun, perlu ada pemenuhan beberapa aspek lebih dulu. “Saya setuju bahwa kita tidak lagi berpikir apakah ini realistis atau tidak, tapi kita juga harus berpikir untuk mencapai itu. Bagaimana menggerakan A, K, L, S bersama-sama?. Dan membagi peran antara pemerintah, swasta, dan segala teknologi lain yang tidak selalu mudah,” terangnya.

        Diskusi kelompok terfokus terbagi menjadi lima grup Kelompok, pertama membahas tentang strategi pengelolaan utang negara dan dimoderatori oleh Suli Muwarni (jurnalis senior, eks Redaktur Bisnis Indonesia). Peserta diskusi grup ini yakni Gurnadi Ridwan (FITRA), Fakhrul (Trimegah Securitas), M. Rizal Taufikurahman (INDEF), Martha Jesica S. M. (IESR), dan Adi Ahdiyat (Databook).

        Salah satu kesimpulan adalah peningkatan rasio utang ke level 50 persen dari PDB diperlukan. Apalagi UU Keuangan Negara memungkinkan rasio utang hingga 60 persen dari PDB. Namun kenaikan ini harus disertai dengan beberapa syarat dan catatan.

        “Penggunaan utang itu disalurkan ke proyek yang memberikan nilai tambah, yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, supaya sektor bergerak. Kalau sektor bergerak, tercipta lapangan kerja, masyarakat punya daya beli, maka akhirnya ekonomi mampu berputar,” jelas Suli.

        Di kelompok dua, Trubus Rahardiansyah (pengamat kebijakan publik sekaligus dosen di Universitas Trisakti) menjadi moderator untuk tema Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Mendekati 0% dan Kemiskinan Relatif di Bawah 6%. Pesertanya adalah Iqbal Hafizon (CISDI), Bona Tua (INFID), I Made Krisna Yudhana Wisnu Gupta (CIPS), Adi Khisbul Wathon (PATTIRO), dan Hasran (CIPS).

        Tema ini menyoroti banyak hal yang punya kaitan erat dengan kemiskinan, mulai dari tata kelola data yang lebih baik, akses terhadap kesehatan, hingga banyaknya pekerja informal yang tidak terlindungi oleh berbagai jaring pengaman sosial seperti BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja. Selain harus menurunkan kemiskinan, pemerintah juga perlu menjaga agar aspiring middle class tidak turun.

        Selain itu, kemiskinan ekstrem yang perlu dituntaskan untuk mencapai target pertumbuhan memerlukan analisis lebih dari langkah-langkah yang sudah diambil. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, perumus menyoroti hasil lanjutan dari pilot project yang telah dilakukan.

        “Soal fiskal, perlu dipikirkan operational cost yang menekan dari total bahan sosial yang benar-benar masyarakat versus yang digunakan oleh siapapun pihak yang menyalurkan. Perlu juga dipertimbangkan sumber dana lain yang dimanfaatkan dan peningkatan tax ratio yang tentu saja akan memengaruhi,” ujar Krisna Gupta. 

        Soal Strategi Peningkatan Penerimaan Rasio Pendapatan Negara 23% menjadi tema pembahasan kelompok ketiga yang dimoderatori oleh Ah Maftuchan dari The Prakarsa, dan peserta diskusi Rhino Akbarinaldi (Monash University Indonesia), Riza Annisa (INDEF), Mulyandy, Farhan Medio Y (The Prakarsa), Samira Hanim (The Prakarsa ), dan Agus (Pranadipta Consultant).

        Berkaitan dengan tax dan penerimaan negara, peningkatan rasio pajak dianggap tidak realistis untuk mencapai 23 persen.

        “Ketika kami melihat pada dokumen perencanaan berupa RPJP yang dikeluarkan Bappenas bahwa di 2045 saja mereka baru mencapai 20 persen, sedangkan mereka sudah mempertimbangkan ekonomi dan sebagainya,” terang Farhan, Asisten Program dan Penelitian Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The Prakarsa.

        Tema keempat yang juga jadi bahasan adalah Keberlanjutan Program Hilirisasi yang mengundang M. Toha dari PERHAPI untuk menjadi moderator, dengan peserta diskusi adalah Sholahudin Al Ayubi (CERAH), Lay Monica Ratna Dewi (CELIOS), Sandi Perdamean Purba (IYKRA), Anindita Hapsari (IESR), dan Arif Adiputro (IPC).

        Kelompok diskusi ini menghasilkan rekomendasi bahwa program hilirisasi dapat kembali dilanjutkan, tapi harus sampai menghasilkan end-product, dalam hal ini berarti industrialisasi mineral. Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara lebih signifikan.

        “Hilirisasi tidak cukup kalau kita inginkan pertumbuhan ekonomi kita di atas 8 persen. Yang harus dilakukan, kita harus melanjutkan hilirisasi sampai ke end product,” kata Toha.

        Tema diskusi lain adalah terkait Keberlanjutan Program Energi Hijau. Yudha Permana Jayadikarta dari METI menjadi moderator diskusi yang mengundang peserta Fiorentina Refani (CELIOS), Deni Gumilang (GIZ Indonesia), dan Andhika Prastawa (METI).

        Kelompok ini menyebut Pengembangan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon harus menjadi prioritas, dengan fokus pada elektrifikasi, efisiensi energi, dan peninjauan teknologi CCS/CCUS. Kebijakan harus didasarkan pada pendekatan ilmiah yang realistis, dengan koordinasi lintas sektor yang kuat dan penguatan institusi energi.

        Menurut Direktur Utama Pranadipta Consulting, Boma Samihardjo, FGD ini menghasilkan

        banyak hal baik, mulai dari ilmu baru, jaringan, hingga rekomendasi yang akan diteruskan ke

        tim khusus Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

        “Kami berharap kita dapat sama-sama menggali lebih dalam tentang tips dan trik

        mengoptimalkan pendapatan negara, utang negara, dan pengelolaan negara,” ujar Boma.[]

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Sufri Yuliardi
        Editor: Sufri Yuliardi

        Bagikan Artikel: