Dalam sesi akhir Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" yang digelar Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) di Jakarta (18/9),
Ketua Umum DPP Ikadin Maqdir Ismail, membagikan pengalaman-pengalaman buruk ketika berlawanan dengan Pemerintah dalam kasus yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). “Banyak ketentuan terkait piutang negara dan pemberian BLBI banyak yang bermasalah. Banyak aset yang sebenarnya sudah diserahkan sebagai jaminan, tetapi tidak dihitung untuk mengurangi utang,” ujarnya.
Maqdir juga menyoroti tebang pilih penegakan hak Pemerintah dibanding kewajiban-kewajibannya. “Meskipun hukum terkadang bau, tapi itu yang harus ditaati. Di satu sisi, masyarakat dituntut untuk patuh pada hukum yang berlaku. Namun di sisi lain, Pemerintah justru mengabaikan hak tagih warga negaranya kepada Pemerintah. Sayangnya, tidak pernah ada perlindungan soal itu. Pemerintah tidak pernah melunasi kewajibannya,” tambahnya.
Senada dengan itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar Rafael Tunggu yang menegaskan kedudukan Pemerintah dalam hukum perdata. Menurutnya Pemerintah harus patuh pada asas-asas dalam hukum perdata, termasuk asas pacta sund servanda, perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Penggunaan instrumen hukum publik dalam rangka penagihan utang merupakan bentuk kesewenang-wenangan. “Seharusnya yang menilai ada tidaknya pelanggaran perjanjian itu pengadilan, bukan pemerintah sendiri.”
Sementara itu menurut Dian Puji Simatupang,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyoroti adanya permasalahan dalam Perppu No. 49 Tahun 1960 (Perppu 49/1960) yang menjadi dasar penggunaan surat utang yang dikatakan sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai perkembangan hukum keuangan negara. “Seyogianya dilakukan pembedaan tata kelola dan mitigasi risiko sesuai dengan jenis piutangnya. Kalau bersumber dari perjanjian, seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara.”
Dian juga memaparkan permasalahan dari pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 (PP 28/2022), “Sewaktu saya diundang dalam penyusunan, saya sudah mengingatkan agar penagihan ini dilakukan sesuai dengan kaidah UU Administrasi Pemerintah, saya juga sudah membuatkan checklist agar seluruh prosedur dalam UU Administrasi Pemerintahan dilaksanakan. Tapi ternyata tidak ada yang masuk,” katanya.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil, juga mengomentari kecacatan dari materi PP 28/2022. Menurutnya peraturan ini memungkinkan pemerintah untuk menagih secara sepihak dan tidak dapat disanggah. “Benar-benar merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” katanya. Menurut Arsil, terjadi kesalahan Pemerintah dalam memahami maksud Perppu 49/1960, “Surat paksa merupakan mekanisme eksekusi khusus. Ia hanya diterbitkan apabila debitur mengakui kebenaran utang dalam suatu Pernyataan Bersama yang sepadan dengan Surat Pengakuan Utang grosse acte. Hal Ini berarti terdapat kesepakatan dari debitur, bukan agar Pemerintah dapat menerbitkan Surat Paksa secara sepihak.”
Arsil juga menyoroti risiko dari besarnya wewenang Panitia Urusan Piutang Negara dalam PP 28/2022, “Saya khawatir ini berpeluang disalahgunakan oleh oknum-oknum yang nakal. Kita tentu tidak asing dengan adagium power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”
Aan Eko Widiarto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya juga menyoroti adanya pelanggaran prinsip due process of law dalam Perppu 49/1960, “PUPN ini dibentuk dari cabang eksekutif namun bertindak sebagai lembaga yudisial dengan menerbitkan produk yang menyerupai putusan hakim.” Aan Eko merujuk pada keberadaan irah-irah dalam Surat Paksa yang umumnya digunakan dalam putusan pengadilan.
Aan Eko juga menyoroti pembatasan upaya hukum dalam Pasal 77 PP 28/2022 yang melanggar undang-undang. “Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman sudah menegaskan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan. Tetapi Peraturan ini justru membatasi.”
Turut berbagi ilmu dalam kegiatan ini adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. Suteki. Ia mengingatkan pentingnya kebahagiaan manusia sebagai tolok ukur dari pembuatan dan penegakkan hukum. “Yang harus menjadi fokus adalah tujuan yang hendak dicapai, harus goal-oriented. Jika hukum yang ada dan pelaksanaannya justru menimbulkan kesengsaraan, seharusnya hal tersebut tidak dilakukan.” Suteki menilai bahwa komposisi PUPN yang beranggotakan pegawai pemerintah tidak cukup untuk memberikan perlindungan kepada debitur. “Perlu ada penyeimbang seperti advokat atau unsur perwakilan rakyat agar penyelesaiannya tidak otoriter,” tegasnya.
Suteki mengibaratkan penagihan utang saat ini seperti debt collector, “Sekarang siapa yang mengawasi debt collector ini? Kesalahan-kesalahan Pemerintah tidak boleh dibiarkan karena justru menjadi bibit-bibit masalah di masa depan.”
Suteki juga menekankan pentingnya penyelesaian yang berkeadilan bagi debitor, “Diperlukan restorative justice system. Jadi debitur yang tidak lagi mampu membayar dapat diberikan pengampunan atau permaafan, tidak melulu ditagih ketika sudah tidak punya uang,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait: