Kasus Penculikan Anak 12 Tahun di Jakarta Barat, Pengacara Kritik Pernyataan 'Suka Sama Suka'
Tanggapan tegas datang dari penasehat hukum keluarga korban penculikan di Jakarta Barat terkait pernyataan Polres Metro Jakarta Barat. Dalam konferensi pers, pihak Kepolisian menyebut kasus penculikan yang menimpa anak perempuan berusia 12 tahun itu berawal dari hubungan pacaran atau 'suka sama suka'. Pernyataan tersebut menuai kritik, terutama mengingat perbedaan usia yang mencolok antara korban dan pelaku, yang berusia 22 tahun.
Penasehat hukum keluarga korban, Cahaya Chrismanto menekankan bahwa korban masih anak-anak dan tidak memahami makna pacaran atau hubungan intim.
Baca Juga: Pakar: Peninjauan Kembali Mardani Penting untuk Martabat Hukum Indonesia
"Tidak ada alasan pembenar yang dapat diterima untuk tindakan pelaku, yang jelas merupakan seorang 'predator'," ungkap Cahaya.
Klarifikasi Terkait Alasan Pelarian Korban
Polisi juga mengklaim bahwa korban melarikan diri dari rumah karena dimarahi orangtua. Namun, pihak penasehat hukum menyatakan bahwa informasi ini belum pernah dikonfirmasi kepada korban maupun orangtuanya.
Mereka menyesalkan kurangnya komunikasi dalam proses investigasi dan menekankan pentingnya pemulihan korban secara psikologis.
"Sebagai penasehat hukum, kami mendukung langkah-langkah pemeriksaan yang dilakukan oleh PPPA DKI Jakarta dan perlindungan melalui KPAI. Kami juga berencana mengajukan permohonan perlindungan kepada KPAI," tambah Cahaya.
Cahaya mengingatkan bahwa langkah-langkah perlindungan anak harus diperluas, terutama terkait pengawasan terhadap aplikasi online. Dirinya berharap pemerintah dapat menertibkan aplikasi yang berhubungan dengan perjodohan, kencan, dan pacaran agar anak di bawah umur tidak mudah mengakses konten berbahaya.
"Kami juga mendorong orangtua dan pihak sekolah untuk melakukan pengawasan serta memberikan edukasi yang memadai mengenai penggunaan smartphone kepada anak-anak," kata Cahaya.
Dirinya berharap langkah tersebut dapat mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Kronologis Versi Keluarga
Kasus penculikan anak diungkapkan Kuasa Hukum Keluarga Korban lainnya dari Posbakum IKADIN Jakarta Selatan, Hezekia Naibaho peristiwa bermula pada 16 September 2024.
Ketika itu korban meminta izin kepada ibunya untuk bermain dengan teman-temannya. Namun, ketika tidak kunjung pulang pada pukul 22.00 WIB, ayahnya mulai khawatir dan mencoba menghubungi korban. Sayangnya, handphone korban sudah tidak aktif.
Khawatir dengan kondisi anaknya, orangtua korban berusaha melaporkan kehilangan di Polsek Kalideres pada pukul 24.00 WIB, tetapi laporan mereka ditolak karena belum genap 2 x 24 jam.
"Mereka kembali melapor pada 18 September 2024, setelah dua hari tanpa kabar," ungkap Hezekia.
Setelah laporan tersebut, pihak Polsek melakukan pengecekan CCTV dan berusaha mengumpulkan informasi. Pada tanggal 23 September 2024, korban akhirnya pulang ke rumah. Tidak lama setelah itu, pihak kepolisian datang untuk meminta keterangan orangtua mengenai hilangnya korban.
"Setelah melalui beberapa prosedur, pada 24 September 2024, orangtua korban diminta untuk membuat laporan resmi mengenai dugaan penculikan. Selanjutnya, korban menjalani visum pada 25 September 2024 di RS Tarakan, yang dihadiri oleh keluarganya dan pihak kepolisian," beber Hezekia.
"Puncaknya terjadi pada 30 September 2024, ketika pihak kepolisian meminta korban untuk menunjukkan lokasi selama menghilang. Dalam proses ini, mereka secara tidak sengaja bertemu dengan pelaku yang diduga terlibat dalam penculikan," tambahnya.
Tanggapan Keluarga
Setelah pihak kepolisian menggelar konferensi pers pada 8 Oktober 2024, keluarga korban diungkapkan Hezekia merasa bahwa pernyataan yang disampaikan tidak mencerminkan realitas yang mereka alami.
Orangtua mengaku khawatir atas pernyataan kepolisian yang menyebut kejadian ini sebagai 'suka sama suka' dalam konteks pacaran.
"Korban masih di bawah umur, dan tidak seharusnya ada alasan pembenar untuk tindakan pelaku yang jelas merupakan predator," tegas Hezekia.
Lebih lanjut dipaparkannya, kasus ini tidak hanya mencerminkan masalah penculikan anak, tetapi juga pentingnya perlindungan dan pengawasan bagi anak di era digital. Keluarga korban berharap bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pihak kepolisian dapat membawa keadilan bagi anak mereka, serta mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
"Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan keselamatan anak-anak kita dan menjaga mereka dari ancaman yang ada," tutupnya.
Pelaku Ditangkap
Dikutip dari Kompas.id, berawal dari perkenalan di salah satu aplikasi, A (12) menjadi korban penculikan dan pemerkosaan oleh SPS (22), selama sepekan.
Kasus ini menjadi peringatan bagi orangtua, tidak adanya pengawasan ketat dalam penggunaan telepon seluler berpotensi menjadikan anak sebagai korban tindak kejahatan. Sejak Selasa (16/9/2024) hingga Senin (23/9/2024), A diculik dan disekap oleh SPS di gudang kosong di daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.
Tidak sampai di situ, pelajar kelas enam sekolah dasar itu juga enam kali diperkosa pelaku.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat Komisaris Besar M Syahduddi mengatakan, setelah SPS menyekap korban selama tujuh hari, SPS membebaskan dan mengembalikan korban tak jauh dari rumah korban di kawasan Kalideres.
Penculikan itu, ucap Syahduddi, berawal saat tersangka berkenalan dengan korban melalui aplikasi kencan Litmach pada Senin (15/9/2024). Perkenalan itu pun berlanjut dengan saling bertukar nomor WhatsApp untuk bertemu janji di Taman Bulak Teko, Jalan Peta Jalan Selatan, Kalideres.
SPS kemudian mengajak korban jalan dan dibawa ke sebuah gudang kosong. Di situ, korban diperkosa. Dari hasil pemeriksaan visum et repertum di Rumah Sakit Tarakan juga menunjukkan bukti kuat adanya kekerasan seksual. SPS mengaku, tindakan itu karena didasari saling suka.
Namun, kata Syahduddi, perbuatan tersangka tetap tidak bisa dibenarkan karena korban masih di bawah umur dan telah membawa kabur tanpa persetujuan orangtua.
”Pelaku membawa korban ke sebuah kamar di lapak barang bekas. Di situ, selama tujuh hari korban tidak pernah keluar kamar jika siang hari, dan jika keluar hanya malam hari untuk mandi,” ujarnya.
Sementara itu, dari keterangan keluarga, A pamit untuk bermain dan bertemu temannya di Kota Tua. Namun, hingga malam A tak kunjung pulang dan tidak bisa dihubungi. Hal itu membuat orangtua A khawatir dan melaporkan ke polisi.
Baca Juga: Kuasa Hukum Kasus ASDP Ajukan Praperadilan soal Penyitaan Barang Bukti
Atas perbuatannya, tersangka SPS dikenai Pasal 81 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 332 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu memuat aturan terkait membawa lari perempuan yang belum dewasa tanpa seizin orangtuanya. Tersangka SPS terancam hukuman 12 tahun penjara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar