Kebijakan Hilirisasi ala Pemerintahan Jokowi Putus Tradisi Ekspor Bahan Mentah Sejak 400 Tahun Lalu
Meski berulang kali ditekan negara-negara Uni Eropa yang menggugat Indonesia ke World Trade Organisation (WTO) atas tuduhan proteksionisme komoditas bijih nikel, kebijakan hilirisasi tetap dijadikan langkah strategis ekonomi-politik masa Pemerintahan Presiden Jokowi. Lewat tangan dingin Jokowi, Indonesia telah memulai hilirisasi industri di sektor mineral seperti nikel dan bauksit, serta sektor agro seperti kelapa sawit.
Jokowi dengan berani terus menguatkan langkah untuk digdaya dalam persaingan pasar global. Berbagai aturan diteken, pembangunan smelter digenjot, daya tahan industri dalam negeri dijaga. Hilirisasi adalah mesin pertumbuhan (engine of growth) yang memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara industri maju.
Untuk itu, Jokowi memastikan bahwa nilai tambah dari komoditas ESDM, seperti tembaga, nikel, dan batu bara, harus tercipta di dalam negeri melalui hilirisasi. Ia menekankan bahwa Indonesia tidak lagi boleh mengirim bahan mentah ke luar negeri, yang hanya menguntungkan negara-negara penerima.
“Kita sudah 400 tahun lebih mengirim barang-barang mentah kita, bahan-bahan mentah kita, raw material kita ke luar negeri. Yang kaya mereka, yang menjadi negara maju mereka, kita tidak bisa melompat,” tegas Jokowi saat menghadiri malam puncak HUT ke-79 Pertambangan dan Energi di Jakarta, baru-baru ini.
Hasil dari hilirisasi ini pun kini sudah terlihat seperti peningkatan devisa negara, investasi, nilai tambah produk, dan penciptaan lebih banyak lapangan kerja, yang semuanya berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Contohnya dampak hilirisasi nikel yang melompat secara signifikan dari nilai ekspor bahan mentah sebesar USD 2,9 miliar pada 2020 menjadi USD 34,4 miliar pada 2023. Menurut Jokowi, lompatan tersebut tidak hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan tetapi juga negara termasuk masyarakat.
“Kalau semua masuk ke industri, masuk ke industri-industri turunan akan melompat penerimaan negara, dan itu semuanya bisa kita pakai untuk membangun jalan desa, membangun jalan tol, membangun pelabuhan baru, membangun airport baru, untuk subsidi, untuk bansos rakyat kita,” ungkapnya.
Baca Juga: Menperin Optimis Hilirisasi Sawit Capai Rp775 Triliun
Selain nikel, Jokowi juga menyoroti pengembangan hilirisasi di sektor tembaga dan bauksit. Dua smelter besar di Amman-Sumbawa, dan Freeport-Gresik, akan segera beroperasi dengan nilai investasi mencapai Rp50-60 triliun.
Imbasnya, mesin pertumbuhan baru dari hilirisasi industri tersebut juga telah berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap solid di tengah tantangan ekonomi dan geopolitik global.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015 atau tahun pertama Jokowi efektif menjalankan roda pemerintahan, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,8%, melambat dibandingkan 2014 yang tumbuh 5,02%. Kemudian pada 2016, pertumbuhan ekonomi mampu kembali ke level 5,03%, lalu 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke 5,02%.
Pada 2020 atau saat merebaknya Pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07%, 2021 kembali tumbuh 3,7%, 2022 tumbuh 5,31%, dan 2023 tumbuh 5,05%. Per kuartal II-2024 pun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05%. Laju pertumbuhan ekonomi yang selalu terjaga di kisaran 5,0%, nyatanya jauh lebih tinggi bila dibandingkan rata-rata pertumbuhan global yang sebesar 3,4%.
Oleh karena itu, pondasi yang telah dibangun dengan jerih payah perlu diperkuat dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memperbaiki tata kelola pengelolaan komoditas di dalam negeri. Ibarat benih yang tumbuh menjadi tanaman bermanfaat, kebijakan hilirisasi jangan dibabat namun harus dilanjutkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: