Pengamat Ekonomi, Yanuar Rizki berharap pemerintahan Prabowo-Gibran memperhatikan kemampuan pengelolaan dan pelaksanaan program- program belanja yang telah direncanakan.
Ia pun memperingatkan agar pemerintah kelak jangan sampai salah langkah yang hanya akan bisa mengganggu stabilitas makroekonomi dan kesehatan fiskal. Jika tak pandai mengelola, kata Yanuar, risikonya tingkat kemiskinan ekstrem akan naik.
Yanuar juga mengatakan bahwa untuk menuntaskan persoalan kemiskinan ekstrem ini dibutuhkan banyak prasyarat dan waktu panjang, yang tak cukup hanya dengan sekedar menyediakan dana bansos yang berlimpah.
Baca Juga: Berat Tugas Prabowo, Pakar Ungkap Tantangan Capai Pertumbuhan Ekonomi 5% di 2025
“Masalah utama kita kemiskinan struktural. Kalau kakek lu miskin lu pasti juga miskin. Jadi soal kemiskinan struktural ini harus diatasi,” kata Yanuar dalam diskusi di Jakarta, Kamis (17/10) kemarin.
Ia pun mengingatkan pemerintah untuk tidak terjebak dalam permainan kekuasaan dan harus fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Lebih lanjut, Yanuar Rizki turut menyoroti kondisi masyarakat yang semakin tertekan, terutama akibat meningkatnya utang melalui pinjaman online (pinjol). "Pinjol begitu naik. Coba teman-teman bayangin tahun lalu pinjol Rp 54 triliun, kemarin angka yang keluar dari OJK Rp 74 triliun. Gila nggak? Enam bulan Rp27 triliun sendiri," kata dia.
Yanuar menekankan, banyak warga yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mengandalkan pinjol. Dia khawatir, fenomena ini akan menimbulkan keresahan di kalangan kelas menengah dan bawah, yang semakin terdesak secara ekonomi. “Buat masyarakat di bawah, untuk membiayai hidup pinjol juga disikat,” tegasnya.
Baca Juga: Soal BUMN-BUMD, Fredrich Yunadi Serahkan Nasib ke KY
Sementara itu, Peneliti Sinergi Kawal BUMN, Willy Kurniawan menekankan bahwa pemerintah harus berpikir ulang ihwal merampingkan jumlah BUMN. Agar tak hanya sebatas perampingan, ia berujar pemerintah harus tegas soal tata kelola BUMN, salah satunya soal pemilihan komisaris
Dia berpendapat, perampingan yang dilakukan dianggap sebagai "doktrin sesat". Dalam konteks bisnis swasta, biasanya tujuannya adalah membangun konglomerasi dengan mengembangkan jaringan, dari satu menjadi lebih banyak.
"Jadi kalau orang berbisnis itu yang kita pikirkan bagaimana membentuk jaring jadi dari 1 menjadi 2 menjadi 3 menjadi 4 dan terusnya. Nah kok saya ngeliat di BUMN ini paradigmanya di balik. Jadi yang diurus cuma yang besar dan sehat," pungkas dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait: