Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat diprediksi berdampak pada kebijakan energi yang memiliki banyak perubahan dan ketidakpastian. Maka dari itu, pemerintah Indonesia perlu menghitung ulang soal target peningkatan bauran biodiesel dari B35 menjadi B40.
Kendati bukan konsumen utama minyak sawit, kebijakan energi Amerika Serikat yang kian berkembang berdampak besar pada pasar minyak sawit global, khususnya Indonesia.
Baca Juga: IPOC 2024: Industri Sawit Bersinergi untuk Mendukung Program Biodiesel
Menurut Analyst dari Bloomberg, Alvin Tai, diesel di Amerika Serikat masih menjadi bahan bakar transportasi kedua terbesar dengan penggunaan mencapai 22%, sementara biofuel hanya mencakup 6% dari total konsumsi bahan bakar transportasi.
Akan tetapi, tren menunjukkan peningkatan penggunaan renewable diesel dan biodiesel yang diprediksi melampaui konsumsi diesel berbasis petroleum pada tahun 2024 dengan konsumsi mencapai 4,5 juta barrel per hari.
Adapun ketersediaan bahan baku ini meningkat dari kurang dari 10 juta metrik ton pada 2021 menjadi sekitar 15 juta metrik ton pada 2024.
“Meskipun ada potensi pertumbuhan lebih besar, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 25,7 juta metrik ton per tahun, sehingga banyak pihak yang pesimistis terhadap tercapainya proyeksi ini mengingat keterbatasan pasokan bahan baku," ujar Alvin, Senin (11/11/2024).
Tercatat saat ini bahan baku biodiesel dan renewable diesel Amerika Serikat sebagian besar berasal dari minyak kedelai sebesar 44%, minyak daur ulang dan lemak senilai 33%, minyak jagung sebesar 15%, dan minyak kanola sebesar 5%.
Baca Juga: BPDPKS Ungkap Alasan Program Biodiesel Perlu Dana Rp47 Triliun
Dengan penerapan kebijakan baru berupa kredit pajak 45Z kini menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur, yang menempatkan Used Cooking Oil (UCO) pada posisi teratas dan minyak sawit Indonesia dengan nilai karbon tertinggi (4 Kg CO2 per kilogram).
Hadirnya program biodiesel di berbagai negara menurut Direktur Godrej International, Dorab Mistry, sangat mendorong penyerapan minyak nabati dunia. Namun, disayangkan bahwa stagnansi produksi minyak sawit membuat harganya tidak lagi kompetitif bahkan cenderung mahal sehingga daya saing di pasar global menjadi turun.
Adapun stagnasi tersebut didorong oleh persoalan domestik seperti teknologi, peremajaan, dan bibit. Menurut dia, melemahnya harga minyak bumi dalam jangka panjang membuat tren politik subsidi pemerintah terhadap biofuel tetap menjadi faktor penentu fluktuasi harga minyak nabati.
Baca Juga: Kementerian ESDM: 9 Pabrik Biodiesel Tambahan Diperlukan demi Kebut Produksi B50
"Dengan kata lain, capricious climate masih akan mewarnai perjalanan minyak nabati di tahun 2025," ungkap Dorab Mistry.
Selain itu, faktor lain yang berpotensi mendorong kenaikan harga, khususnya jika ada penundaan kebijakan biofuel salah satunya adalah cuaca di Amerika Selatan.
Lebih lanjut, harga minyak kedelai masih diprediksi tetap kuat. Hal ini didorong oleh tingginya permintaan biodiesel di Amerika Serikat serta perubahan insentif dari blenders credit menjadi producers credit. Permintaan juga diperkirakan makin meningkat seiring dengan kebijakan terkait Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia (Wamentan RI), Sudaryono alias Mas Dar, mengaku jika Indonesia terus mendorong agenda energi terbarukan yang lebih luas melalui peningkatan pencampuran biodiesel.
Indonesia disebut-sebut telah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan menghemat lebih dari USD 7,9 milar untuk impor bahan bakar fosil dengan mengadopsi B35 pada tahun 2023.
Baca Juga: Perisai Prabowo Siap Kawal Biodiesel, Utamakan Kesejahteraan Petani Sawit
"Sasaran B50 merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan energi, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertanian lokal. Namun, perluasan ini dapat berdampak pada ketahanan pangan dan juga pasokan minyak sawit, terutama untuk ekspor," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: