- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Pasar
Harga CPO Melonjak 31%, Industri Sawit Indonesia Malah Hadapi Tantangan Baru
Harga minyak kelapa sawit (CPO) terus menunjukkan tren peningkatan signifikan sepanjang tahun 2024. Berdasarkan data terbaru, harga rata-rata CPO ex Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) yang pada Mei lalu berada di angka Rp12.207 per kilogram kini melonjak menjadi Rp16.000 per kilogram, mencatat kenaikan hingga 31%. Di pasar global, harga CPO bahkan mencapai USD 1.390 per ton, jauh melampaui soybean oil yang hanya USD 1.043 per ton.
Namun, lonjakan harga ini membawa dampak beragam. Di satu sisi, eksportir menikmati margin keuntungan yang lebih tinggi. Di sisi lain, pasar global mulai beralih ke minyak nabati alternatif seperti minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, mengungkapkan bahwa kondisi tersebut berpotensi menekan volume ekspor CPO Indonesia serta membuat pasar domestik menghadapi kenaikan harga minyak goreng yang signifikan.
Dalam keterangannya, dirinya menjelaskan beberapa tantangan baru yang mesti diselesaikan oleh pemangku kepentingan terkait maupun pemerintah di antaranya adalah:
Kebijakan Biodiesel dan Distorsi Pasar
Setelah pemilihan presiden 2024, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana implementasi biodiesel B40 pada 2025, yang akan dilanjutkan dengan B50. Kebijakan ini dinilai strategis untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor sekaligus meningkatkan konsumsi CPO dalam negeri.
Akan tetapi, Sahat menilai jika pengalihan sebagian pasokan CPO untuk kebutuhan biodiesel tersebut justru memicu distorsi pada keseimbangan supply-demand di pasar global. Kondisi tersebut juga diperparah dengan penurunan produktivitas kebun sawit Indonesia yang hanya 3,2 ton per hektare per tahun. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga penghasil sawit, Malaysia, yang mencapai 4,1 ton.
Baca Juga: Kementan Fokus Benahi Tata Kelola Sawit, Pastikan Benih dan Regulasi Jelas
Produktivitas Rendah dan Lambatnya Replanting
Salah satu akar masalah dalam industri sawit Indonesia adalah rendahnya produktivitas akibat tanaman yang sudah tua. Program replanting, yang seharusnya menjadi solusi, berjalan lambat. Petani kecil (smallholders) menghadapi kendala regulasi, terutama lahan sawit yang masuk kawasan hutan.
Di sisi lain, perusahaan besar seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya mampu melakukan replanting sekitar 4% dari total luas lahan mereka setiap tahun.
“Intinya kenapa Indonesia tidak melakukan peremajaan kebun sawitnya yang sudah udzur? Besar kekhawatiran mereka. Katanya banyak areal (kebun) yang masuk kawasan hutan. Apalagi para petani sawit memiliki motto tunggu saja apa program pemerintah (Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, dan kementerian lainnya). Banyak yang turut nimbrung di persoalan ini,” ucap Sahat kepada Warta Ekonomi, Sabtu (14/12/2024).
Di sisi lain, apabila program replanting ini tidak dipercepat, produktivitas sawit akan semakin tergerus dan Indonesia akan kehilangan daya saingnya.
Lebih lanjut, Sahat juga mengamati bahwa para pemain vegetable oil di dunia sudah mulai mawas dengan kondisi tersebut, yakni produktivitas sawit rendah dan supply CPO lantas akan berkurang. Apalagi, saat ini pemerintah tengah menggencarkan B40, bahkan B50.
“Maka rumus Supply vs Demand akan terdistorsi. Para pialang di bursa saham komoditi pun akan memainkan situasi ini. Maka harga CPO akan membumbung ke level 1.390 USD per ton vs Soybean oil di level USD 1.043 per ton,” urai Sahat.
Dampak pada Konsumen dan Pasar Domestik
Lonjakan harga global juga memengaruhi konsumen dalam negeri. Konsekuensinya yakni harga minyak goreng di pasar domestik terus meningkat karena Harga Patokan Ekspor (HPE) yang ditetapkan Kementerian Perdagangan mengikuti fluktuasi pasar global.
Akibatnya, konsumen menghadapi beban yang lebih besar, sementara pelaku industri domestik tidak memiliki fleksibilitas untuk menekan harga tanpa risiko merugikan negara.
“harga CPO yang tinggi di atas harga soybean ini mengakibatkan pasar CPO akan seret. Karena CPO sudah berakting di luar kebiasaanya alias anomaly. Maka dari itu, pasar global akan memilih alternatif lainnya seperti soybean oil, rapeseed oil, dan minyak bunga matahari,” kata Sahat.
Dengan kata lain, imbuhnya, sawit Indonesia akan anjlok, volume ekspor menurun drastic dan yang menjadi korban adalah pasar dalam negeri untuk membeli minyak goreng dengan harga yang tinggi.
“Apabila berani menurunkan harga, maka bisa masuk ke dalam kategori merugikan negara dan urusannya bakal panjang. Termasuk harga CPO di pasar lokal yang ditenderkan oleh KPBN,” jelas dia.
Baca Juga: Tak Ada Obat untuk Cendawan Parasit di Kebun Sawit, Metode Ini Diklaim Bisa Ulur Waktu
Ketidakjelasan Arah Kebijakan Sawit
Problem lainnya yang disoroti oleh Sahat yakni hingga saat ini, Indonesia belum memiliki strategi yang jelas untuk menentukan fokus industri sawit, apakah pada perluasan pangsa pasar (market-share) atau peningkatan profitabilitas. Kondisi ini membuat posisi sawit Indonesia di pasar global semakin rentan terhadap manipulasi oleh pialang komoditas internasional.
“(Dari penjabaran tadi) intinya adalah tidak ada di republik ini yang punya wewenang untuk menentukan posisi sawit di pasar global. Makanya semua diam,” tutur dia.
Peluang dan Tantangan Ke Depan
Meskipun tantangan terus bermunculan, implementasi biodiesel B40/B50 membuka peluang untuk memperkuat industri sawit nasional. Namun, menurut Sahat, pemerintah perlu mengatasi masalah mendasar seperti replanting, regulasi kawasan hutan, dan peningkatan produktivitas.
Selain itu, diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional serta pengembangan produk turunan sawit bernilai tambah tinggi dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar global yang fluktuatif.
“Selain program hilirisasi yang digaungkan oleh Presiden, perlu sisi lain yang harus dijalankan. Intinya adalah hulunisasi. Jadi jangan asal jalan saja seperti yang selama ini berlangsung di industri sawit,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: