Pasca Memenangkan Gugatan Bahaya Asbes, LPKSM Yasa Nata Budi Hadapi Tuntutan Rp7 Miliar
Mahkamah Agung memenangkan gugatan yang dilayangkan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi terkait bahaya penggunaan asbes terhadap kesehatan.
Menanggapi hasil putusan itu, Asosiasi Industri Asbes, yang disebut khawatir pada potensi kerugian akibat keputusan tersebut, melaporkan LPKSM Yasa Nata Budi dengan tuntutan pidana terkait pelanggaran UU ITE. Nilai tuntutan yang diajukan tersebut mencapai Rp7 miliar.
Sebagai informasi, LPKSM Yasa Nata Budi dalam gugatannya meminta agar semua produk atap bergelombang dan rata berbahan asbes mencantumkan label peringatan.
Pembahasan lebih lanjut terkait hal ini dilakukan dalam acara Seminar Nasional Kemenangan Perlindungan Konsumen di Gugat Korporasi, yang diselenggarakan oleh LION Indonesia dan LPKSM Yasa Nata Budi di Jakarta pada Rabu (18/12/2024).
Sekretaris Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), R. Wisnu Haryo Samudro, dalam paparannya menyampaikan bahwa pihaknya masih melakukan kajian terkait kasus tersebut. Namun, pada prinsipnya, BPKN memberikan dukungan penuh kepada konsumen.
"Kita (masih) harus lihat dulu. Tapi yang pasti, BPKN ingin selalu melindungi konsumen. Itu yang paling utama, tidak ada lain,” ujar Wisnu.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Anna Suraya, dokter okupasi dengan spesialisasi toksikologi, menjelaskan bahwa semua jenis asbes telah ditetapkan sebagai bahan karsinogenik oleh badan riset kanker dunia, WHO, dan ILO. Menurutnya, karena sifat karsinogenik tersebut, perlu ada langkah kebijakan yang tepat untuk mengendalikannya.
“Gugatan Yasa Nata Budi untuk labelisasi sebenarnya cukup moderat. Mereka tidak meminta pelarangan, hanya labelisasi. Dari sudut pandang ilmu pencegahan risiko, faktor penyebab bahaya semestinya dihilangkan. Riset doktoral saya yang dipublikasikan secara internasional dengan data dari Indonesia, sudah membuktikan hubungan antara asbes dan kanker paru,” jelas Dr. Anna.
Menurut Dr. Anna, sifat karsinogenik asbes bukanlah untuk menakut-nakuti publik, melainkan sebagai informasi penting yang perlu diketahui masyarakat agar dapat memilih dengan sadar produk yang mereka gunakan. Ia juga menyebutkan bahwa laporan pertama terkait penyakit akibat asbes di Indonesia sudah ada sejak 2017.
“Para pekerja itu sakit akibat asbes karena mereka tidak tahu bahaya yang terkandung dalam bahan tersebut. Ketika mereka sakit, sistem kesehatan kita juga terbatas untuk menangani dampaknya. Kita tidak ingin situasi serupa terjadi pada konsumen di masa depan, yang akan membebani sistem kesehatan nasional kita,” tambahnya.
Kepala Divisi Penyuluhan dan Pembelaan Yasa Nata Budi, Leo Yoga Pranata, menjelaskan bahwa lembaganya menggugat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia. Gugatan tersebut teregister pada 29 Desember 2023.
“Kami menggugat Permendag tersebut karena tidak mempertimbangkan beberapa peraturan yang lebih tinggi, yang justru menetapkan asbes sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), seperti PP 74 Tahun 2021 dan peraturan menteri lainnya. Atas kemenangan itu, kami menghadapi gugatan dari asosiasi industri produsen atap asbes,” ungkap Leo.
Gugatan Ganti Rugi
Asosiasi Industri Fiber Semen Indonesia menggugat Yasa Nata Budi dengan tuduhan melakukan disinformasi terkait gugatan yang diajukan ke Mahkamah Agung. Asosiasi menilai keputusan Mahkamah Agung tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi mereka.
Menanggapi gugatan ini, Kuasa Hukum Yasa Nata Budi, Dadan Januar dari kantor hukum Binsar Sitompul, menyebut bahwa gugatan asosiasi tersebut tidak tepat karena menyasar keputusan Mahkamah Agung, bukan tindakan Yasa Nata Budi.
“Yang dipersoalkan asosiasi terhadap Yasa Nata Budi itu adalah hal yang sudah dipertimbangkan dan diputus oleh MA. Jadi, bukan Yasa Nata Budi yang memutuskan pelabelan asbes. Tidak masuk akal jika putusan MA digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyasar warga negara yang sudah diterima legal standing-nya,” papar Dadan.
Sejumlah aktivis HAM menyebut gugatan asosiasi tersebut sebagai contoh dari Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu upaya hukum yang bertujuan melemahkan partisipasi publik. Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, menjelaskan bahwa SLAPP sering digunakan untuk membungkam upaya masyarakat dalam membela kepentingan publik.
“Sudah ada sejumlah kasus serupa sebelumnya. Situasi di mana konsumen atau advokat digugat oleh korporasi seperti ini merupakan praktik yang tidak sehat dan perlu ditolak. Harus ada perlawanan sistematis untuk mencegah hal ini berlanjut,” ujar Heri.
Surya Ferdian, Direktur LION Indonesia, menyampaikan bahwa perjuangan melindungi masyarakat dari bahaya penyakit akibat asbes membutuhkan waktu panjang. Menurutnya, gugatan dari asosiasi industri merupakan tantangan yang harus dihadapi.
“Kita telah lebih dari 14 tahun bekerja untuk advokasi terkait asbes. Kami paham bahwa tantangan seperti ini akan muncul, dan kami siap menghadapinya. Dengan keyakinan bahwa masyarakat Indonesia mendukung perjuangan ini, kami percaya hukum akan berpihak kepada kebenaran,” tutup Surya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: