Dianggap Kurang Matang, Kadin Jawa Timur dan Lima Asosiasi Kepelabuhanan Menolak SKB tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Lebaran

Dianggap Kurang Matang, Kadin Jawa Timur dan Lima Asosiasi Kepelabuhanan Menolak SKB tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Lebaran Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Warta Ekonomi, Surabaya -

Lima asosiasi kepelabuhanan, yaitu Organisasi Angkutan Darat (Organda) Tanjung Perak, Indonesian National Shipowners’s Association (INSA) Surabaya, Gabungan Importir Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur, Asosiasi Logistik dan Forwarder (ALFI) Jawa Timur, dan Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jawa Timur, menolak penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Dirjen dan Korlantas Polri tentang pengaturan lalu lintas angkutan selama masa Lebaran 2025/1446 H.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam SKB tersebut dinilai kurang matang karena tidak didasarkan pada kajian yang mendalam. Menurutnya, jika operasional kendaraan dihentikan selama 16 hari, hal ini dapat mengganggu roda perekonomian dan menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, Kadin Jatim meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, mengingat kondisi lalu lintas di Jawa Timur selama ini relatif aman dan tidak pernah mengalami kemacetan parah.

“Kami meminta pemerintah untuk melakukan kajian lebih mendalam sebelum mengeluarkan regulasi. Banyak kebijakan yang terkesan kontroversial dan justru dapat menghambat target pertumbuhan ekonomi. Perlu ada blueprint atau peta jalan yang jelas, terutama dalam hal ekspor-impor. Pelaku usaha juga seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” tegas Adik Dwi Putranto di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Jumat (14/3/2025).

Baca Juga: Kadin Siap Dukung Program Pemerintah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Sementara itu, Ketua Organda Tanjung Perak, Kody Lamahayu, menyatakan keberatan terhadap kebijakan libur panjang tersebut. Menurutnya, hal ini akan menimbulkan kerugian besar dan mengganggu ekosistem logistik di Jawa Timur.

“Yang perlu diingat, sopir kami, pengusaha truk, buruh pelabuhan, dan buruh pabrik belum sejahtera. Jika mereka harus libur selama 16 hari, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga? Kami memohon kepada pemerintah agar meninjau kembali kebijakan ini. Libur sebaiknya cukup H-3 hingga H+1,” ujar Kody.

Ketika ditanya tentang potensi kerugian, Kody menjelaskan bahwa kerugian finansial akan sangat besar jika SKB tersebut diterapkan. Dengan asumsi biaya sewa truk sebesar Rp 1 juta per hari dan jumlah truk di Tanjung Perak sekitar 8.000 unit, kerugian dalam sehari bisa mencapai Rp 8 miliar. Jika diakumulasikan selama 16 hari, kerugian total bisa mencapai Rp 108 miliar. Belum lagi kerugian yang dialami oleh sopir yang tidak bisa bekerja selama periode tersebut.

Kody menegaskan bahwa jika pemerintah tetap bersikukuh dengan SKB tersebut, pengusaha truk mungkin tidak akan mematuhinya. “Kami akan tetap beroperasi. Seperti tahun lalu, saat libur Idul Fitri, tidak ada yang benar-benar berhenti beroperasi. Kami meminta pemerintah untuk mengkaji ulang SKB ini dan membatasi masa libur hanya H-3 hingga H+1,” tegasnya.

Di sisi lain, Ketua GPEI Jawa Timur, Isdarmawan Asrikan, menyoroti dampak kebijakan ini terhadap para eksportir. Ekspor Jawa Timur dalam setahun mencapai rata-rata US$ 24 miliar, dengan sebagian besar berasal dari sektor industri manufaktur yang 70%-80% bahan bakunya diimpor. 

Baca Juga: Kadin Jabar Salurkan Bantuan untuk 200 Korban Banjir Bekasi

Jika kegiatan terhenti selama dua minggu, hal ini akan mengganggu produksi dan menimbulkan biaya tambahan.

“Jika ekspor kita mencapai US 24 miliar per tahun, maka setiap bulan nilainya sekitar US$ 2 miliar. Jika terhenti selama dua minggu, nilai kargo yang tidak bisa diangkut bisa mencapai US$ 1 miliar. Ini akan mengganggu cash flow industri kita,” jelas Isdarmawan.

Senada dengan itu, Ketua ALFI Jawa Timur, Sebastian Wibisono, mengungkapkan bahwa data tahun 2024 menunjukkan ekspor-impor menggunakan kontainer di Surabaya mencapai 2,2 juta TEUs, dengan rata-rata 190.000 TEUs per bulan. 

Jika 10% di antaranya adalah komoditas bahan pokok, maka sekitar 140.000 TEUs akan terhambat selama 16 hari.

“Bayangkan jika jumlah sebesar itu tidak bisa keluar selama 16 hari. Stagnasi di pelabuhan akan terjadi, dan biaya operasional di Pelindo tetap berjalan. Ini akan menambah beban biaya bagi pelaku usaha,” pungkas Sebastian.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Amry Nur Hidayat

Bagikan Artikel: