Pendapatan Kasino Malaysia Rp37 Triliun, Pengamat: Indonesia Bisa Asal yang Main WNA dan Tempatnya di KEK
Kredit Foto: Unsplash/Aidan Howe
Wacana melegalkan kasino yang dilontarkan Anggota Komisi XI DPR RI Galih Kartasasmita terus menggelinding.
Tidak sedikit yang mendukung terutama terkait maraknya judi online dan juga defisit anggaran negara yang sangat besar.
Seperti diberitakan sebelumnya, isu legalisasi kasino pertama kali mencuat dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan di gedung Parlemen.
Saat itu anggota DPR dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, mengusulkan agar Indonesia meniru Uni Emirat Arab (UEA) yang menjalankan kasino dengan dalih untuk menambah objek baru penerimaan negara bukan pajak.
"Mohon maaf nih, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin udah mau jalanin kasino, coba negara Arab jalanin kasino, maksudnya mereka kan out of the box gitu kementerian dan lembaganya," kata Galih.
Merespons hal itu, Pengamat hubungan Internasional Hikmahanto Juwana juga mendukung legalisasi kasino darat yang dikendalikan negara. Sembari terus fokus memberantas judi online yang membuat triliunan uang rakyat Indonesia malah tersedot judi online di luar negeri.
Ketika ditanya wartawan apakah mungkin lokasi judi di tempatkan di pulau-pulau luar Jawa. Hikmahanto mengaku sepakat dengan ide itu.
"Di tempat di sebuah pulau atau tempat tertentu. Karena perputaran uangnya sangat besar. Dan kita bisa lebih mengendalikan daripada mereka beroperasi di Kamboja dan Myanmar," tambahnya.
Diketahui, Genting Malaysia Berhad, yang mengoperasikan satu-satunya kasino legal di negara ini—Resorts World Genting—dalam laporan tahunannya mencatat pendapatan sebesar RM10,91 miliar pada tahun 2024 atau setara Rp37,09 triliun (kurs Rp3.400).
Pendapatan dari judi legal di Malaysia itu mengalahkan APBD 2025 Jawa Barat yang hanya 30,99 triliun.
Sebagian besar pendapatan ini berasal dari operasi kasino di Malaysia, meskipun perusahaan juga memiliki operasi di luar negeri seperti Inggris, Mesir, AS, dan Bahama.
Sebelumnya, Indonesia juga pernah memiliki gubernur yang progresif dalam mencari sumber pendanaan untuk pembangunan. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966–1977, dikenal berani mengambil langkah-langkah kontroversial demi pembangunan ibu kota.
Salah satu kebijakan yang paling menuai sorotan publik pada masanya adalah legalisasi dan pengelolaan perjudian, termasuk keberadaan kasino di Jakarta.
Kebijakan ini, meskipun menuai kritik dari banyak kalangan, terutama kelompok keagamaan, justru menjadi bagian penting dalam strategi pembiayaan pembangunan Jakarta.
Pada akhir 1960-an, Jakarta menghadapi tantangan besar dalam hal pembiayaan pembangunan. Sebagai kota yang sedang berkembang pesat, kebutuhan akan infrastruktur seperti jalan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum lainnya sangat mendesak.
Namun, anggaran yang tersedia dari pemerintah pusat sangat terbatas. Dalam situasi ini, Ali Sadikin menyadari perlunya mencari sumber-sumber dana alternatif di luar anggaran negara.
Jalan keluarnya melegalkan kegiatan perjudian tertentu seperti lotre, dan memberi izin beroperasinya kasino yang dikelola secara resmi.
Langkah ini ditempuh dengan pendekatan yang sangat terkendali. Tujuannya bukan untuk mendorong perjudian sebagai budaya, melainkan sebagai sarana mengumpulkan dana pembangunan yang cepat dan signifikan.
Merespons hal itu, akademisi STIE Ekuitas Vidya Ramadhan menyebut salah satu yang bisa menjadi pertimbangan untuk melegalkan Kasino adalah dengan mengkhususkan Kasino dibuka untuk Warga Negara Asing (WNA) dan melarang kepada masyarakat Indonesia.
Vidya mengatakan bila dilihat dari segi ekonomi, tidak bisa dipungkiri itu bisa berdampak positif dalam jangka pendek, namun tetap jangan sampai itu merugikan masyarakat.
"Misalkan dibuka Kasino dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Daerah seperti di Bali atau Batam. Negara juga bisa ambil pajak dari transaksi judi kasino dengan syarat ada pengawasan langsung," kata Vidya kepada wartawan, Selasa (20/05/2025).
Vidya menyebut jangan sampai juga pelegalan kasino berdampak pada daya beli masyarakat khususnya masyarakat menegah kebawah karena itu bisa mengurang tabungan kelompok masyarakat tersebut.
Hal lain yang perlu dikaji adalah harus dilihat juga aturan pelegalan kasino tersebut. Namun, bila dikaji secara hukum sebenarnya itu bisa jadi opsi karena larangan tersebut berada di KUHP, sementara KEK diatur dalam UU sehingga kekuatan hukumnya bisa setara.
Menurutnya, bila kajian mendalam dilakukan dan akhirnya dilegalkan maka akan ada aturan khusus yang mengatur hal tersebut.
"Konsep itu namanya "Lex specialis derogat legi generali" yang artinya asas hukum yang menyatakan bahwa ketentuan hukum yang khusus (lex specialis) akan mengesampingkan ketentuan hukum yang umum (lex generalis) jadi kalau ada aturan khusus itu bisa dipertimbangkan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: