Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi di Bawah 5%! Anggaran Pemerintah Seret, Motor Penggerak Konsumsi Pun Mogok
Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Ekonomi Indonesia terancam tumbuh di atas 5% pada tahun ini. Sinyal itu menguat setelah pemerintah membatalkan rencana pemberian diskon tarif listrik sebesar 50% untuk periode Juni–Juli 2025 akibat keterbatasan anggaran.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai tidak adanya motor penggerak konsumsi membuat pertumbuhan ekonomi sulit mencapai target.
“Pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5% year on year, apalagi tidak ada motor berarti yang dorong konsumsi kecuali libur sekolah dan belanja keperluan tahun ajaran baru,” kata Bhima kepada Warta Ekonomi, Selasa (3/6/2025).
Baca Juga: Ekonomi RI Alami Deflasi 0,37%, BI Sebut Inflasi 2025 Sesuai Target
Bhima menyebut keputusan pembatalan diskon listrik sebagai indikator memburuknya kondisi fiskal negara. Pemerintah dinilai tidak memiliki ruang fiskal memadai untuk menjalankan program-program stimulus konsumsi yang dibutuhkan masyarakat.
Menurut Bhima, minimnya anggaran juga memaksa pemerintah memprioritaskan pembayaran utang jatuh tempo senilai Rp178,9 triliun pada Juni 2025. “Anggarannya tidak tersedia. Padahal Juni ini pemerintah harus bayar utang jatuh tempo Rp178,9 triliun. Jadi yang prioritas pastinya untuk bayar utang dulu,” ujarnya.
Baca Juga: Diskon Tarif Listrik Batal, Pemerintah Butuh Uang untuk Bayar Utang Rp178,9 Triliun
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi bahwa rencana diskon tarif listrik sebesar 50% resmi dibatalkan. Lambatnya proses penganggaran membuat pemerintah tak kunjung menyiapkan alokasi dana untuk kebijakan tersebut. Padahal, diskon ini merupakan bagian dari paket stimulus yang sempat dijanjikan sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat.
Bhima menegaskan bahwa sejak awal, pemerintah tidak memiliki kesiapan fiskal untuk merealisasikan program ini. “Awalnya diskon tarif listrik jadi satu paket dengan stimulus ekonomi, bukan pengganti atau substitusi,” jelasnya.
Sebagai gantinya, pemerintah akan menyalurkan bantuan subsidi upah. Namun, Bhima menilai langkah ini tidak akan banyak membantu. “Bantuan subsidi upah saja jelas tidak cukup dalam meningkatkan daya beli kelompok menengah ke bawah, apalagi nominal terlalu kecil dan pekerja informal tidak ter-cover,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: