Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        BOJ Terjepit Inflasi dan Tarif AS: Kenaikan Suku Bunga Menjadi Dilema

        BOJ Terjepit Inflasi dan Tarif AS: Kenaikan Suku Bunga Menjadi Dilema Kredit Foto: Reuters/Toru Hanai
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bank Sentral Jepang (BOJ) kembali berada di persimpangan kebijakan. Inflasi inti yang melesat ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun pada Mei 2025 menambah tekanan terhadap BOJ untuk segera menaikkan suku bunga, bahkan ketika ekonomi negeri itu masih goyah akibat ketidakpastian tarif impor dari Amerika Serikat.

        Indeks harga konsumen inti (CPI) yang mengabaikan harga pangan segar yang volatile, naik 3,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini tak hanya melampaui proyeksi pasar, tetapi juga menandai percepatan dari 3,5% pada April. Tekanan terbesar datang dari kebutuhan pokok: harga beras melonjak dua kali lipat, nasi kepal naik hampir 20%, dan cokelat batangan melesat 27%.

        Kondisi ini memunculkan tekanan sosial dan ekonomi yang nyata. Rumah tangga Jepang mulai merasakan dampak inflasi secara langsung di meja makan mereka. Di saat yang sama, BOJ masih harus mempertimbangkan risiko perlambatan ekonomi yang makin diperparah oleh ketegangan dagang dengan pemerintahan Trump.

        “Inflasi di sektor barang tetap tinggi, dan kini mulai merembet ke jasa. Ini artinya tekanan biaya tenaga kerja sudah mulai diteruskan ke konsumen,” ujar Ryosuke Katagi, ekonom di Mizuho Securities, dilansir dari Reuters, Sabtu (21/6/2025).

        “Kondisi ini membuka ruang bagi kenaikan suku bunga tambahan sepanjang 2025,” imbuhnya.

        Baca Juga: CDI Group Siap Melantai di Bursa, Tawarkan IPO Hingga Rp2,37 Triliun untuk Perkuat Infrastruktur Logistik dan Energi

        Namun, langkah tersebut tidak serta-merta dapat diambil. Gubernur BOJ Kazuo Ueda dalam pernyataannya menekankan perlunya pendekatan hati-hati. Ia mengakui bahwa inflasi yang bersifat fundamental—yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas—belum sepenuhnya stabil di atas target 2%.

        "Kami tidak akan menaikkan suku bunga hanya karena tekanan sesaat. Namun jika proyeksi kami tentang pertumbuhan dan harga terealisasi, kenaikan suku bunga tetap jadi arah kebijakan," kata Ueda.

        Di sisi lain, para analis memperingatkan bahwa inflasi pangan yang terus-menerus dapat memicu lonjakan harga secara luas. Data terbaru menunjukkan harga makanan (di luar pangan segar) naik 7,7% pada Mei, dibandingkan 7,0% di April merupakan kenaikan yang tidak dapat diabaikan.

        Yoshiki Shinke dari Dai-ichi Life Research Institute menyebut inflasi tahun ini “melampaui ekspektasi.” Ia memperkirakan inflasi inti memang akan turun di bawah 3% pada Agustus dan kembali ke bawah 2% di awal 2026, namun dengan laju yang lebih lambat dari prediksi sebelumnya.

        Perdebatan internal di dewan BOJ pun mulai mencuat. Risalah rapat 30 April–1 Mei menunjukkan perbedaan pandangan tentang arah inflasi, dengan sebagian anggota memperingatkan kemungkinan lonjakan harga yang melebihi proyeksi resmi.

        Sebagai tambahan, sebuah makalah riset internal BOJ pekan ini memperingatkan bahwa jika suku bunga hanya dinaikkan secara bertahap sementara harga bahan baku terus meningkat, maka ada risiko spiral inflasi, di mana upah dan harga terus saling mendorong naik.

        Tahun lalu, BOJ mengakhiri era stimulus ultra-longgar dan mulai menaikkan suku bunga ke level 0,5% pada Januari. Namun, eskalasi tarif oleh AS membuat BOJ terpaksa merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang, sekaligus menunda langkah lanjutan.

        Kini, semua mata tertuju pada data inflasi beberapa bulan ke depan dan arah pembicaraan perdagangan Jepang-AS. Di tengah gejolak global dan harga beras yang tak lagi ramah kantong, BOJ dituntut untuk menjaga keseimbangan yang semakin rapuh.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Istihanah

        Bagikan Artikel: