Kredit Foto: Dirjen Pajak
Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mewajibkan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh marketplace mulai berlaku tahun ini. Namun, kebijakan ini dinilai masih menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam aspek sosialisasi dan kesiapan sistem perpajakan digital, khususnya di daerah dengan literasi digital rendah.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa penyebaran informasi kebijakan belum merata. Ia menilai pemerintah perlu memperkuat edukasi agar pelaku usaha di seluruh Indonesia dapat memahami dan menerapkan aturan ini secara efektif.
Baca Juga: Celios Soroti Celah Penghindaran Pajak dalam PMK 37/2025
“Sulit menilai sejauh mana kebijakan ini telah dipahami secara merata karena datanya terbatas. Namun, kondisi geografis Indonesia yang luas dan beragam tingkat literasi digital menyebabkan pemahaman bisa sangat berbeda antara pelaku usaha di kota besar dan di daerah,” ujar Yusuf kepada Warta Ekonomi, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga: Pajak E-Commerce Diterapkan, Bisa Hambat Pertumbuhan UMKM Digital
Yusuf menekankan pentingnya pendekatan yang kontekstual dalam sosialisasi, termasuk membuka ruang dialog aktif dengan pelaku usaha di berbagai daerah. Ia juga mendorong pemerintah menyederhanakan sistem administrasi pajak agar implementasi PMK 37/2025 tidak membebani usaha mikro dan kecil.
“Pemerintah perlu menyederhanakan sistem pendaftaran dan pelaporan pajak, serta mendorong pemanfaatan teknologi seperti integrasi API untuk pelaporan real-time,” ujarnya.
Sebagai informasi, PMK 37/2025 mengatur bahwa marketplace wajib memungut PPh sebesar 0,5% dari omzet pedagang dalam negeri dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta. Kebijakan ini merupakan bagian dari perluasan basis pajak di sektor digital.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ida Umy Rasyidah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: