Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tiga Faktor ini Bikin Industri Asuransi Makin Meringis di 2025

        Tiga Faktor ini Bikin Industri Asuransi Makin Meringis di 2025 Kredit Foto: YouTube
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hendri Saparini, Economist & Founder of CORE Indonesia menilai perlambatan ekonomi global dan domestik diperkirakan akan menekan industri asuransi nasional melalui tiga faktor, pertama pelemahan konsumsi rumah tangga, kenaikan inflasi medis, dan penurunan hasil investasi.

        Pernyataan ini ia sampaikan dalam panel session bertajung "Insurance and Economic Resilience" dalam acara Indonesia Re International Conference 2025, Selasa (22/7/2025).

        Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan premi asuransi global mengalami koreksi tajam dari 5,2% tahun lalu menjadi sekitar 2% tahun ini. Sementara di dalam negeri, pertumbuhan industri asuransi dinilai masih tertinggal dibanding negara-negara selevel.

        Baca Juga: OJK Ingatkan Perusahaan Asuransi Waspada dengan Ancaman Gejolak Global

        Menurut Hendry, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di kisaran 4,6%–4,8%, lebih rendah dari asumsi awal APBN sebesar 5,3%. Koreksi tersebut terutama disebabkan oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang 56% dari PDB.

        "Sebelumnya, pertumbuhan konsumsi sekitar 5%, tapi kini turun menjadi 4,9%, 4,8%, dan bahkan bisa menyentuh 1,8% tahun ini. Karena 56% sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi, maka penurunan konsumsi sangat berdampak besar," jelas Hendri, Senin (22/7/2025).

        Ia menekankan, beban konsumsi paling terasa di kelas menengah aspiratif, yang didefinisikan sebagai kelompok dengan pengeluaran hanya tiga kali garis kemiskinan, atau sekitar Rp1,5 juta per bulan.

        “Karena yang disebut 'kelas menengah' di Indonesia sebenarnya masih sangat rentan. Jika batas pengeluaran garis kemiskinan hanya Rp600 ribu, maka 'kelas menengah aspiratif' hanya sekitar Rp1,5 juta per bulan,” jelas Hendri.

        Tekanan terhadap industri juga datang dari inflasi medis yang melonjak hingga lima hingga enam kali lipat inflasi umum. Tahun ini, inflasi medis diperkirakan mencapai 13%, jauh di atas inflasi headline yang hanya 1,87%.

        “Tahun ini, inflasi medis diperkirakan mencapai 13%. Ini menyebabkan biaya klaim meningkat lebih cepat dari pertumbuhan premi. Untuk reasuransi, rasio kerugiannya melebihi 100%,” jelasnya lagi.

        Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh Rp17.000 per dolar AS, serta tingginya tingkat suku bunga pinjaman, turut memperparah tekanan di sektor ini. “Rasio kerugian di asuransi kredit naik menjadi 90% pada kuartal pertama 2025,” ujarnya.

        Baca Juga: Sebanyak 4% Kelas Menengah Hilang, Asuransi Jiwa Kehilangan Pangsa Pasar

        Tak hanya itu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga meningkat signifikan sejak tahun lalu. Hendri menjelaskan pada kuartal I 2025, jumlah PHK di Indonesia meningkat 27,7% dibanding tahun sebelumnya, mencapai 24.036 kasus. Lonjakan ini menekan daya beli masyarakat, terutama di sektor manufaktur, dan mendorong pergeseran prioritas konsumsi ke kebutuhan dasar. Akibatnya, pembelian dan pembayaran premi asuransi menurun, seiring stagnannya indeks penjualan ritel dan lemahnya pertumbuhan pendapatan.

        Meski penuh tantangan, Hendry menilai ini saat yang tepat bagi industri dan pemerintah untuk memperkuat sinergi. Ia mendorong adanya inovasi produk berbasis kebutuhan nasional, termasuk asuransi pertanian dan proyek strategis pemerintah, serta mendorong literasi keuangan dan dukungan regulasi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ida Umy Rasyidah
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: