Kredit Foto: Kemenkes
Produk alat kesehatan (alkes) asal Amerika Serikat mulai membanjiri pasar Indonesia tanpa kewajiban sertifikasi dan pelabelan menyusul perjanjian dagang bilateral Indonesia–AS yang diteken pada Juli 2025.
Relaksasi ini diproyeksikan memperkuat dominasi impor, yang saat ini telah mencakup sekitar 80% kebutuhan alkes nasional, sekaligus menekan daya saing industri manufaktur dalam negeri.
Analis menilai langkah ini memicu tekanan kompetitif yang signifikan terhadap produsen lokal. “Produsen lokal seperti Kalbe Farma, Jayamas Medica Industri, dan Prodia dipaksa mempercepat transformasi produksi agar tetap kompetitif,” ujar Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, Selasa (29/7/2025).
Baca Juga: Tantangan Tarif Impor AS Jadi Ujian Kekuatan ASEAN
Beberapa emiten mulai merespons agresif. Kalbe Farma, melalui anak usahanya Forsta Kalmedic, menggandeng GE Healthcare membangun pabrik CT-scan pertama di Indonesia dengan target 306 unit hingga 2027. Produk tersebut memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 40%, yang membuka peluang bersaing dalam tender e-katalog pemerintah.
Sementara Jayamas Medica lebih fokus pada alat medis dasar seperti syringe dan justru mengekspor ke AS, memanfaatkan celah dari perang dagang AS–China. Prodia melalui anak usaha Proline juga membangun pabrik reagen dan alat diagnostik (IVD) di Jababeka dengan kapasitas empat kali lipat dari sebelumnya.
Baca Juga: RI-AS Akan Terus Lakukan Perundingan Terkait Detail Teknis Tarif Impor 19%
Liza menilai keterbukaan pasar ini bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung kesiapan masing-masing perusahaan. Ia menekankan pentingnya insentif fiskal, perlindungan berbasis TKDN, serta dukungan kebijakan agar industri lokal tidak kalah saing.
“TKDN bukan sekadar regulasi sementara, tapi fondasi membangun industri alkes nasional,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: