Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pakar Kebijakan Publik sebut Gaji Anggota DPR Rp240 Juta Berapa Kali Lipat Gaji UMR dan Gaji Guru

        Pakar Kebijakan Publik sebut Gaji Anggota DPR Rp240 Juta Berapa Kali Lipat Gaji UMR dan Gaji Guru Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Heboh di sosial media dan juga aksi demonstrasi kemarin, Senin (25 Agustus 2025) terkait gaji fantastis anggota DPR di tengah ekonomi yang sedang sulit.

        Menanggapi hal itu, Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam tulisannya kalau ketimpangan gaji anggota DPR terlalu dalam.

        Berikut catatan lengkapnya:

        "Ketimpangan Gaji DPR RI Terlalu Dalam, Benarkah, Apa yang Harus Publik Perbuat?"

        Apakah anggota DPR RI benar “hanya” menerima sekitar Rp104 juta per bulan? Ternyata bukan. Bahkan lebih besar dari itu. 

        Data anggaran terbaru menunjukkan paket penghasilan berbasis APBN—gabungan gaji, aneka tunjangan, serta dukungan kerja—mendekati Rp230–240 juta per bulan per anggota. 

        Basisnya jelas: pagu APBN 2025 menyebutkan ±Rp1,65562 triliun untuk 580 anggota pada 2025. 

        Jika dibagi 580 lalu dibagi 12 bulan, hasilnya ±Rp237,9 juta per bulan. Rencana tunjangan perumahan Rp50 juta/bulan belum termasuk angka tersebut; jika diberlakukan, total bisa menembus ±Rp287,9 juta/bulan. 

        Angka dan metodologi ini sesuai publikasi Harian Kompas, 24 Agustus 2025.  

        Rincian yang mudah diuji

        Akar salah paham datang dari pencampuran istilah gaji pokok dan paket all-in. 

        Gaji pokok seorang anggota DPR memang hanya sekitar Rp4,2 juta/bulan (pimpinan lebih tinggi).

        Yang membuat total membesar adalah tunjangan melekat (tunjangan jabatan, kehormatan, keluarga, listrik/telepon) dan tunjangan kinerja/fungsi (komunikasi intensif, peningkatan fungsi), ditambah dukungan operasional seperti perjalanan dinas, reses/penyerapan aspirasi, hingga skema perumahan. 

        Sebagian komponen diterima dalam bentuk uang, sebagian berupa fasilitas dan biaya kegiatan. 

        Jadi, Rp230–240 juta/bulan adalah estimasi biaya jabatan all-in yang dibelanjakan negara per anggota—bukan seluruhnya take-home pay. 

        Namun bagi fiskal negara dan rasa keadilan publik, angka all-in-lah yang relevan.

        Perbandingan dengan guru dan buruh UMR

        Agar masyarakat punya skala pembanding, mari hitung kasar. 

        Seorang guru PNS muda (Gol III/a) dengan sertifikasi pendidik umumnya menerima total sekitar Rp5,5–5,7 juta/bulan (gaji pokok awal ±Rp2,79 juta plus Tunjangan Profesi setara 1× gaji pokok, di luar tunjangan daerah/kinerja yang sangat bervariasi). 

        UMR/UMP pun berbeda antarwilayah; ambil gambaran sekitar Rp5,4 juta di DKI Jakarta dan sekitar Rp2,17 juta di Jawa Tengah.

        Dengan angka ±Rp237,9 juta/bulan untuk DPR diperoleh Rasio terhadap UMP DKI ≈ 44 kali.

        Rasio terhadap UMP Jateng ≈ 110 kali.

        Rasio terhadap guru PNS muda bersertifikat ≈ 43 kali.

        Perbandingan ini memang bukan apple to apple—tugas, jam kerja, dan risiko berbeda. 

        Namun angka-angka tersebut memberi gambaran tingkat ketimpangan yang dirasakan publik saat belanja parlemen melonjak signifikan.

        Di negara lain, jurangnya tak sedalam itu

        Sebagai cermin sederhana, gaji anggota Kongres AS sekitar US$174.000/tahun.

        Dibanding upah minimum federal US$7,25/jam (kira-kira US$15.080/tahun untuk 2.080 jam kerja), rasionya sekitar 11–12 kali.

        Di Inggris, gaji anggota parlemen sekitar £94.000/tahun sementara National Living Wage berkisar £12/jam untuk usia dewasa; terhadap pekerja penuh waktu (±1.950 jam/tahun), rasionya ±4 kali.

        Politik dan ekonomi tiap negara tentu berbeda, tetapi arah kebijakannya relatif sama: membatasi rasio agar tetap masuk akal di mata pembayar pajak.

        Apa yang seharusnya dilakukan demi efisiensi dan keadilan?

        Pertama, tetapkan satu angka resmi all-in per anggota per bulan dalam sebuah dasbor publik yang memisahkan gaji, tunjangan melekat, fasilitas, perjalanan dinas, dan dukungan staf. 

        Ini menghentikan simpang-siur antara “gaji” dan “biaya jabatan”.

        Kedua, tata ulang struktur tunjangan. Hilangkan duplikasi pos, satukan komponen sejenis, dan ubah sebagian dari tunai menjadi layanan bersama (riset kebijakan, tenaga ahli, penerjemahan) agar kualitas kerja naik tanpa menggembungkan biaya individu.

        Ketiga, batasi dengan plafon realistis untuk komponen sensitif harga (akomodasi, telepon, kendaraan) berbasis reimbursement dengan bukti.

        Untuk perumahan, gunakan sewa kolektif berplafon atau optimalisasi aset negara; rencana Rp50 juta/bulan patut diuji urgensi dan efisiensinya sebelum jalan.

        Keempat, hubungkan sebagian tunjangan dengan kinerja terukur: kehadiran, kualitas legislasi, tindak lanjut fungsi pengawasan, dan layanan konstituen yang dipublikasikan. Dengan begitu, nilai rupiah berbanding lurus dengan nilai kerja.

        Demokrasi memang memiliki biaya, tetapi mahalnya harus dapat dijelaskan. Klarifikasi ini menunjukkan bahwa per 2025, paket biaya jabatan anggota DPR berada di kisaran Rp230–240 juta per bulan (sebelum perumahan Rp50 juta).

        Dengan transparansi angka, rasionalisasi struktur tunjangan, dan pengaitan pada kinerja, parlemen dapat meraih legitimasi yang lebih kuat: bukan karena angka besar yang dinikmati, melainkan karena cara mengelola angka itu—efisien, adil, dan akuntabel bagi publik.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: