Kredit Foto: Istimewa
Sembilan Naga Indonesia adalah istilah populer untuk menyebut kelompok konglomerat yang menjadi penggerak ekonomi di tanah air. Salah satu nama yang kerap muncul dalam daftar ini adalah Edwin Soeryadjaya, putra pendiri Astra International, William Soeryadjaya.
Lahir pada 17 Juli 1949 dengan nama asli Tjia Han Pun, Edwin tumbuh dalam keluarga berada, yang memberinya kesempatan menempuh pendidikan tinggi hingga meraih gelar Bachelor of Business Administration dari University of Southern California (USC) pada 1974.
Kariernya dimulai saat ia bergabung ke Astra pada 1978. Edwin dikenal sebagai sosok yang membawa gebrakan besar, salah satunya dengan memimpin restrukturisasi keuangan perusahaan dan membawa Astra menjadi perusahaan publik pada Februari 1990, dalam IPO terbesar di Indonesia saat itu. Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Pada 1993, ia meninggalkan Astra dan memilih membangun jalannya sendiri.
Edwin mendirikan Saratoga Investama Sedaya pada 1998, sebuah perusahaan investasi yang lahir di tengah krisis moneter. Langkah ini menunjukkan keberaniannya untuk mengambil risiko di saat banyak pengusaha justru bertahan. Saratoga kemudian berkembang menjadi salah satu perusahaan investasi paling berpengaruh di Indonesia, dengan portofolio yang mencakup energi, infrastruktur, hingga sektor ekonomi baru.
Meski sukses dengan Saratoga, kisah Edwin juga tak lepas dari peristiwa kelam keluarga. Saat Bank Summa milik kakaknya Edward Soeryadjaya dilikuidasi pemerintah karena masalah manajemen, sang ayah William Soeryadjaya rela menjual 70% saham Astra untuk melunasi kewajiban kepada para nasabah. Pengorbanan besar itu membekas kuat di hati Edwin. Dari situlah ia belajar arti tanggung jawab dan menjaga nama baik keluarga, nilai yang kelak menjadi fondasi dalam membangun usahanya.
Edwin membuktikan kemampuannya ketika berhasil memenangkan tender Kerja Sama Operasi (KSO) PT Telkom pada 1996. Dengan kombinasi kerja keras, reputasi keluarga, dan kepercayaan perbankan, ia mampu mengakses dukungan dari puluhan bank. Edwin mengakui bahwa banyak keberuntungan yang ia peroleh berasal dari nama baik dan kemurahan hati sang ayah.
Portofolio Saratoga terus berkembang. Edwin terlibat dalam perusahaan besar seperti PT Adaro Energy Tbk, PT Sapta Indra Sejati, PT Indonesia Bulk Terminal, hingga Tower Bersama Infrastructure. Ia juga mencatat langkah berani dengan mengakuisisi Mandala Airlines bersama rekannya Sandiaga Uno pada 2011.
Dengan kiprah yang luas, Edwin beberapa kali masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes, bahkan menduduki posisi ke-12 pada masanya. Per Januari 2025, kekayaannya tercatat sekitar USD 1,1 miliar, setelah sebelumnya mencapai USD 1,6 miliar pada 2024. Fluktuasi kekayaannya menunjukkan betapa erat hubungannya dengan dinamika pasar, namun tren jangka panjang tetap menggambarkan keberhasilan membangun kembali imperium bisnis keluarga.
Namun, bagi Edwin, kesuksesan tidak berhenti pada akumulasi kekayaan. Pada 2009, bersama adiknya Joyce Soeryadjaya, ia mendirikan William & Lily Foundation (WLF) untuk melanjutkan jejak filantropi orang tuanya.
Yayasan ini berfokus pada pengembangan anak usia dini, literasi dasar, serta pemberdayaan ekonomi lokal, terutama di wilayah-wilayah seperti Sumba dan Bali. WLF hadir bukan sekadar sebagai lembaga sosial, tetapi juga sebagai simbol kembalinya warisan keluarga yang sempat terguncang oleh krisis.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: