Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kebijakan Anggaran Dinilai Tone Deaf, APBN 2025 Dinilai Tak Jadi Penopang Pertumbuhan

        Kebijakan Anggaran Dinilai Tone Deaf, APBN 2025 Dinilai Tak Jadi Penopang Pertumbuhan Kredit Foto: TV Parlemen
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, menilai kebijakan ekonomi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 justru membebani perekonomian nasional. Serapan rendah program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu penyebab kontraksi sejumlah sektor.

        “APBN kita ini justru memberatkan perekonomian, bukan membantu. Angkanya minus 0,08 dan minus 0,02 persen. Ini termasuk yang terburuk sepanjang 10 tahun terakhir,” ujar Riandy dalam diskusi ekonomi, Minggu (31/8/2025).

        Baca Juga: Demo Berlanjut, Sri Mulyani Batalkan Rilis APBN KiTA Agustus 2025

        Menurutnya, APBN seharusnya berperan sebagai shock absorber di tengah perlambatan ekonomi. Namun, realisasi belanja pemerintah masih jauh dari target. Dari anggaran MBG sebesar Rp171 triliun, hingga September baru terealisasi sekitar Rp8 triliun.

        Serapan yang rendah berdampak pada kontraksi di sejumlah sektor, seperti konstruksi, perhotelan, serta makanan dan minuman.

        “Efisiensi anggaran di awal kuartal 2025 membuat perhotelan bahkan mencatat pertumbuhan negatif. Meski belanja MBG mulai disalurkan, dampaknya belum signifikan,” jelas Riandy.

        Ia menilai pemerintah terlalu menjadikan MBG sebagai penggerak utama belanja negara. Padahal, badan baru yang menangani program tersebut masih membutuhkan saluran belanja dan nomenklatur baru. Hal ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya, di mana subsidi energi dialihkan ke infrastruktur yang lebih siap menyerap dana.

        Selain itu, Riandy menyoroti masalah ketenagakerjaan. Ia menyebut hilangnya lapangan kerja berkualitas sejak krisis Asia masih terasa hingga kini, sementara investasi lebih banyak mengalir ke sektor padat modal seperti hilirisasi. 

        “Manufaktur kita melambat, sehingga banyak tenaga kerja muda terpaksa masuk sektor informal seperti gig economy. Ini kegagalan pemerintah mendorong sektor formal,” katanya.

        Dalam aspek sosial, Riandy menilai alokasi bantuan sosial (bansos) masih minim jika dibandingkan dengan kenaikan anggaran pertahanan dan parlemen.

        “Bansos hanya Rp160 triliun, sementara belanja kementerian dan lembaga tertentu naik signifikan. Wajar bila publik mempertanyakan prioritas kebijakan anggaran,” ujarnya.

        Sebagai solusi, Riandy menyarankan agar pemerintah meningkatkan bantuan sosial berbasis tunai serta mengalokasikan kembali sebagian dana MBG untuk transfer langsung kepada keluarga. 

        Baca Juga: Ekonom INDEF Desak Pemerintah Terapkan Fleksibilitas Fiskal di APBN

        Ia juga menekankan perlunya revitalisasi industri padat karya guna menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki serapan APBN agar kembali menjadi penopang pertumbuhan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: