Kritik Keras Didik J Rachbini atas Guyuran Rp200 Triliun untuk Bank, Sebut Kebijakan Impulsif karena Ditanya Wartawan
Kredit Foto: Instagram/Didik Junaedi Rachbini
Ekonom senior dari INDEF Didik J Rachbini menilai pelaksanaan Anggaran & Pengelolaan Kas dijalankan oleh Kementrian Keuangan, baik penerimaan, belanja maupun utang harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang dan karenanya pejabat mana pun tidak boleh melanggarnya.
"Pengeluaran dana Rp200 triliun juga berpotensi melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, seperti terlihat pada pasal 22, ayat 4, 8 dan 9," kata Didik.
Hal itu dikatakan Didik menanggapi langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 untuk mengucurkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke bank nasional.
Sesuai KMK ini, penempatan uang negara dilakukan pada lima bank umum mitra, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Penempatan uang tersebut dilaksanakan dengan limit mitra kerja pada masing-masing bank umum mitra yaitu: BRI sebesar Rp55 triliun, BNI sebesar Rp55 triliun, Bank Mandiri sebesar Rp55 triliun, BTN sebesar Rp25 triliun, dan BSI sebesar Rp10 triliun.
Menurut Didik bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR.
Bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.
"Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004," tegasnya.
"Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya 3 undang-undang dan sekaligus konstitusi. Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya," tambahnya.
Ia menilai kebijakan Purbaya seperti impulsif dan terkesan spontan, tidak melalui proses legislasi yang baik melalui APBN dan diajukan dengan sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apaa saja yang akan dijalankan, bukan karena harus menjawab ketika didoortstop wartawan.
"Tidak ada lagi program yang diambil dari ingatan sepintas yang keluar dari wawancara spontan yang dicegat atau “doorstop”," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat