Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        IGS Luncurkan White Paper 2025, Proyeksikan Lonjakan Permintaan Gas Hingga 2035

        IGS Luncurkan White Paper 2025, Proyeksikan Lonjakan Permintaan Gas Hingga 2035 Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesian Gas Society (IGS) resmi meluncurkan White Paper 2025 bertajuk “Bridging the Next Gas Wave: What Will It Take to Unlock Indonesia’s Gas Potential?” di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta, RABU (17/9/2025).

        Dokumen strategis ini memetakan langkah Indonesia dalam memperkuat ekosistem gas bumi nasional, mulai dari pasokan, permintaan, infrastruktur, hingga kebijakan harga, sekaligus menegaskan peran gas dalam mendukung transisi menuju energi rendah karbon.

        “Gas akan tetap menjadi pilar penting yang berjalan berdampingan dengan energi terbarukan. Melalui forum dan White Paper 2025, IGS menekankan eksekusi: efisiensi hulu–hilir, penguatan jaringan pipa dan LNG, kepastian regulasi serta harga domestik, hingga akselerasi teknologi rendah karbon,” papar Daniel S. Purba, Advisor IGS saat membuka acara.

        Dokumen ini memproyeksikan permintaan gas domestik naik konsisten dari 3.630 mmscfd pada 2025 menjadi 4.830 mmscfd pada 2035, terutama dari sektor industri dan listrik. Setelah 2045, permintaan diperkirakan stabil di sekitar 5.700 mmscfd dengan Jawa–Sumatra tetap menyumbang sekitar 70% konsumsi nasional. 

        Di sisi pasokan, meski lapangan eksisting mengalami penurunan alamiah, proyek besar seperti IDD, Abadi LNG, dan Andaman diprediksi mampu mendongkrak produksi hingga 7.500 mmscfd pada 2032, menyumbang lebih dari separuh output nasional hingga 2050.

        Namun, kapasitas regasifikasi nasional diperkirakan tak mampu mengejar pertumbuhan permintaan pada pertengahan 2030-an. Terminal LNG di Jawa Barat diproyeksikan mendekati 100% utilisasi pada 2035, sementara terminal baru di Teluk Lamong (Jawa Timur) yang direncanakan selesai 2025 masih dinilai belum cukup untuk menampung lonjakan kebutuhan.

        Baca Juga: Atas Arahan Prabowo, Pemerintah Siapkan PLTS 1 MW per Desa

        Kebijakan harga gas juga mendapat sorotan. Regulasi harga untuk sektor listrik dan industri yang diperpanjang hingga 2029 dianggap belum memberi kepastian jangka panjang, terutama jika harga LNG internasional melonjak. 

        Pemerintah sendiri sempat mengalihkan tujuh kargo LNG pada April–Mei 2025 ke pasar domestik demi menjaga ketahanan energi, sementara RUU Migas yang disahkan pada 2024 menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) gas sebesar 60% dari total produksi hulu.

        Untuk memperkuat infrastruktur, proyek pipa Dumai–Sei Mangkei (DUSEM) ditargetkan mulai konstruksi tahun ini dan beroperasi pada 2027 guna menyalurkan gas dari Andaman ke Sumatra. Meski begitu, potensi bottleneck di koridor Belawan dinilai masih perlu diantisipasi.

        IGS juga merekomendasikan solusi taktis, mulai dari integrasi rantai pasok pipa–terminal–kapal LNG, hingga pengembangan energi bersih berbasis gas seperti biomethane, CCS/CCUS, pengangkutan CO₂, hydrogen refueling, dan blue ammonia untuk memperkuat agenda dekarbonisasi.

        “Indonesia punya potensi besar, tetapi tantangan ke depan semakin kompleks. Dibutuhkan percepatan pembangunan infrastruktur dengan skema kemitraan publik-swasta yang lebih kuat, insentif pengadaan LNG yang terintegrasi, serta penyederhanaan proses perizinan agar lebih transparan dan efisien,” jelas Samuel Low, Partner & Head of APAC Advisory Rystad Energy, saat memaparkan temuan utama White Paper.

        Dalam diskusi interaktif, Achmad Widjaja, Wakil Ketua Umum Bidang Advokasi & Industri ALB Kadin Indonesia, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menjaga ketahanan energi sekaligus daya saing industri nasional. 

        Baca Juga: Bentuk Badan Komunikasi Pemerintah, Istana Bantah Bubarkan PCO

        “Ketahanan energi membutuhkan perhatian serius karena tanpa integrasi sektor migas, industri nasional akan terus kesulitan berkembang,” ucap Achmad. 

        Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh hanya mengandalkan batubara atau nikel. 

        “Gas harus menjadi bagian transisi energi rendah karbon agar keberlanjutan industri dan lingkungan tercapai. Batubara menghadapi hambatan besar, terutama karena standar ESG membatasi ekspor ke Eropa serta Amerika,” tambahnya.

        Daniel S. Purba juga menegaskan kembali pentingnya koordinasi institusional agar potensi gas nasional benar-benar termanfaatkan. 

        “Jika koordinasi tidak dipercepat, cadangan gas hanya terkunci tanpa memberi manfaat optimal bagi pertumbuhan industri,” ujarnya.

        Ia pun menekankan transisi energi tidak bisa diabaikan.

        “Gas akan tetap menjadi pilar penting transisi energi rendah karbon menuju masa depan berkelanjutan,” tegasnya.

        Sementara itu, Samuel Low mengingatkan bahwa keberhasilan monetisasi cadangan gas nasional bergantung pada harga dan akses infrastruktur. 

        “Harga kompetitif dan infrastruktur memadai akan menjadi kunci menjadikan cadangan gas Indonesia bernilai strategis global,” pungkasnya.

        Baca Juga: Transisi Energi Berkeadilan, PLN Indonesia Power Tumbuhkan Harapan dari Dasar Laut

        Peluncuran White Paper 2025 ini menegaskan posisi gas sebagai energi transisi strategis Indonesia. Momentum “gelombang gas berikutnya” menjadi krusial untuk menyeimbangkan kebutuhan domestik, peluang ekspor, dan agenda menuju energi rendah karbon.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: