Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pasokan Gas Bumi Turun Akibat Natural Decline, DEN: Impor Jadi Opsi Ketahanan Energi

Pasokan Gas Bumi Turun Akibat Natural Decline, DEN: Impor Jadi Opsi Ketahanan Energi Kredit Foto: SKK Migas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemanfaatan gas bumi menjadi faktor penting dalam menjaga ketahanan energi nasional. Dalam jangka pendek, impor gas bumi dinilai perlu dilakukan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengingat pasokan dari sumur tua yang terus mengalami penurunan alami (natural declining).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Poernomo, mengatakan bahwa optimalisasi gas bumi sebagai energi transisi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 telah diakomodasi dalam pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Saat ini, kebijakan tersebut masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014.

"Tadi dikatakan (oleh Kementerian ESDM) ketahanan energi kita ada di skala 6,4 yang artinya cukup tahan. Kenapa dikatakan tahan? Artinya availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), affordability (keterjangkauan), dan acceptability (akseptabilitas) itu semua terjaga. Meskipun itu dilakukan dengan impor, tetapi kita tahan," ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk "Memacu Infrastruktur Gas Menuju Swasembada Energi", yang digelar Energy Institute for Transition (EITS), dikutip, Jakarta, Rabu (5/3/2025). 

Baca Juga: SKK Migas Kejar Target Produksi 605 Ribu BOPD dari 15 Proyek Migas

Abadi menambahkan bahwa pasokan gas bumi nasional saat ini masih mengalami defisit akibat natural decline, sehingga opsi impor perlu dilakukan.

"Oleh karena itu kalau sekarang masih kekurangan gas, sedikit harus impor. Nanti kalau Masela dan Andaman sudah onstream, kelihatannya 78 sampai 100,3 MTOE (Mega Ton setara Minyak) bisa terpenuhi oleh resources yang ada di kita," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Hudi D. Suryodipuro, menuturkan bahwa cadangan gas bumi dengan kandungan besar berasal dari temuan baru pada 2023 dan 2024.

"Kita berani bilang bahwa kita sekarang berada di era gas. Penemuan 2023 oleh ENI (perusahaan Italia) di Geng North-1 (Kalimantan Timur) dan pada 2024 oleh Mubadala Energy di wilayah Andaman ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang dilirik oleh investor asing untuk mengeksplor kembali," ujar Hudi.

Baca Juga: Siapkan Investasi US$12,5 Miliar, RI Bangun Proyek Kilang Minyak 500 Ribu Barel per Hari

Namun, pemanfaatan cadangan baru tersebut membutuhkan waktu serta investasi besar, termasuk pembangunan infrastruktur. Meski demikian, Hudi optimistis gas bumi dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mendukung target swasembada energi nasional.

Berdasarkan proyeksi The International Energy Agency (IEA), penggunaan gas bumi diperkirakan tetap stabil hingga 2050, meskipun konsumsi energi fosil lainnya mengalami penurunan signifikan.

"Artinya, bukan hanya Indonesia, negara lain di dunia juga melakukan hal yang sama dalam utilisasi terhadap gas bumi untuk menopang ketahanan energinya," kata Direktur Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM), Laode Sulaiman.

Baca Juga: Pastikan Penyaluran Gas Bumi Tetap Aman, PGN Gandeng TNI AD

Pemanfaatan gas bumi di dalam negeri akan terus dioptimalkan untuk menopang berbagai sektor strategis, seperti pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga.

"Supaya bisa dipenuhi, maka harus ada pengaturan, yaitu dari solusi infrastruktur. Di Jawa dan Sumatera ditopang jaringan transmisi dan distribusi pipa, baik yang eksisting maupun dalam penyelesaian, yaitu Cisem (Cirebon – Semarang) dan Dusem (Dumai – Sei Mangke)," jelasnya.

Di Indonesia Tengah dan Timur, pasokan gas bumi akan lebih banyak mengandalkan virtual pipeline, seperti LNG, mini LNG, serta pembangunan Terminal Regasifikasi.

"Kalau kita negara daratan mungkin gampang lah dengan pipa seluruhnya. Karena kita negara kepulauan, maka solusinya beda, lebih rinci dan rigid, serta di setiap tahapan supply chain ada strategi keekonomian yang harus diperhitungkan," pungkas Laode.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: