Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Jelang akhir 2025, Indonesia menghadapi dinamika ekonomi dan politik yang kompleks. Demonstrasi besar di berbagai daerah, reshuffle kabinet, serta keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan menjadi 4,75% memicu gejolak di pasar keuangan.
Kondisi ini meningkatkan ketidakpastian bagi investor dan menuntut dunia usaha untuk menjaga stabilitas likuiditas agar tetap bertahan.
Tercatat pada data DBS Group Research, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5% year-on-year pada paruh pertama 2025. Adapun pertumbuhan ini ditopang oleh sektor jasa bernilai tinggi, impor barang modal, investasi, dan konsumsi saat hari raya.
Baca Juga: BNI Genjot Kredit Produktif Usai BI Rate Turun Jadi 4,75%
Paruh kedua diperkirakan tetap positif berkat belanja pemerintah yang lebih besar, penurunan suku bunga, inflasi stabil, serta masuknya investasi asing langsung (FDI). Namun, risiko perlambatan tetap ada jika terjadi gejolak global atau pelemahan belanja pemerintah.
Keputusan BI untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin membuka peluang bagi pelaku usaha untuk membiayai kembali utang dan memperkuat modal kerja dengan biaya lebih rendah.
Namun, risiko tekanan pada nilai tukar rupiah tetap harus diantisipasi. Perusahaan dengan utang atau impor dalam dolar didorong untuk menyiapkan lindung nilai sejak dini.
“Bagi pelaku bisnis, menjaga likuiditas dan efisiensi keuangan menjadi krusial. Perusahaan perlu menyiapkan cadangan kas yang memadai dan menghindari ekspansi berlebihan tanpa penyangga keuangan,” tulis DBS Group Research dalam laporannya, Jumat (19/9/2025).
Di sisi lain, ketidakpastian global membuat diversifikasi usaha semakin penting. DBS memperkirakan ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 95 miliar pada 2025, didorong e-commerce, fintech, dan adopsi teknologi.
Sektor kebutuhan pokok juga relatif tangguh, sejalan dengan rencana pemerintah menaikkan anggaran perlindungan sosial sebesar 9% pada 2026, termasuk program makanan bergizi gratis senilai Rp335 triliun.
Baca Juga: BI Soroti Lambatnya Penurunan Bunga Bank Meski BI Rate Turun Agresif
Kebijakan fiskal pemerintah yang mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan, Rp402,4 triliun untuk energi, dan Rp530 triliun untuk investasi pada RAPBN 2026 menjadi sinyal arah belanja negara. Dunia usaha dapat memanfaatkan peluang dari proyek infrastruktur pendidikan, ketahanan energi, hingga distribusi pangan.
Sementara itu, fluktuasi harga energi dan komoditas juga menjadi perhatian. Harga minyak Brent turun hampir 12% sejak Juni 2025 ke USD 67,48 per barel, sementara harga CPO dan batu bara tetap bergejolak. Perusahaan disarankan mengunci harga lewat kontrak jangka panjang agar biaya operasional tetap terkendali.
Consumer Banking Director Bank DBS Indonesia Melfrida Gultom menilai kemampuan membaca tren lebih cepat akan membedakan perusahaan sukses di tengah situasi ini.
“Sebagai mitra tepercaya untuk mengelola kekayaan dan bisnis, Bank DBS Indonesia hadir untuk membantu pelaku usaha mengidentifikasi peluang baru, misalnya perubahan perilaku konsumen atau sektor yang sedang tumbuh, sehingga strategi bisnis bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: