Sambut Positif CHT dan HJE Tak Naik di 2026, Buruh Linting juga Berharap DBHCHT Tepat Sasaran
Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
Keputusan pemerintah untuk menahan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) pada tahun 2026 disambut positif oleh petani tembakau dan buruh linting di berbagai daerah.
Kebijakan yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini dinilai sebagai langkah berani dan bijak dalam menyeimbangkan kepentingan fiskal negara dengan keberlangsungan sektor padat karya industri hasil tembakau.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K. Mudi, menyebut moratorium cukai sebagai “angin segar” bagi petani tembakau yang selama tujuh tahun terakhir terus terpukul oleh kenaikan tarif yang signifikan.
“Langkah yang dilakukan oleh Pak Purbaya adalah langkah yang sangat bijak dan sangat berani. Sangat berani karena hampir 6–7 tahun terakhir, kita itu terus-menerus mengalami kenaikan dari cukai antara 12–15% setiap tahun. Pernah tahun 2020 yaitu 23%,” ujar Mudi.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan cukai yang terlalu agresif telah menyebabkan penurunan drastis produksi tembakau nasional, dari 280 ribu ton pada 2019 menjadi hanya sekitar 180 ribu ton saat ini.
“Kita lagi anomali iklim, produksi kita turun mulai dari 2019 yang awalnya 280 ribu ton, sekarang tinggal di angka 180 ribu ton. Turun 100 ribu. Berat. Kemudian kita juga lagi mengalami penurunan penyerapan dari industri. Ini adalah dampak dari kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi,” jelasnya.
Penurunan produksi ini berdampak langsung pada kesejahteraan petani di 14 provinsi penghasil tembakau. Mudi menekankan bahwa hampir seluruh hasil panen petani masih bergantung pada serapan dari industri hasil tembakau.
“99% tembakau petani kita itu masih dibeli oleh industri tembakau. Belum ada instrumen penelitian dari universitas mana pun bahwa potensi di industri tembakau, di tembakau ini, sebenarnya bisa dipergunakan untuk macam-macam,” kata Mudi.
Ia berharap momentum moratorium cukai ini diikuti dengan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang lebih tepat sasaran, agar manfaat cukai benar-benar dirasakan oleh petani, pekerja, dan daerah penghasil.
“Kabar baiknya, dari dulu sampai sekarang, cengkeh yang tidak pernah mendapatkan DBHCHT tahun ini bisa menyerap DBHCHT. Artinya, apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini benar-benar menjadi angin segar supaya baik dari sisi hulu maupun hilir ini, petani dan industri bisa bernapas agak lega,” ungkap Mudi.
Dari sisi pekerja, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menilai bahwa kebijakan fiskal selama ini belum berpihak pada buruh. Ia menyoroti bahwa meski pemerintah berdalih demi penerimaan dan kesehatan, kenyataannya pekerja justru menjadi korban.
Baca Juga: Tolak Keras Ide Plain Packaging Produk Tembakau, Asosiasi Vape Nilai Kebijakan Itu Bermasalah
“Kebijakan pemerintah selama ini baik terhadap fiskal maupun non-fiskal sebetulnya jelas-jelas belum tentu efektif, tapi korbannya tenaga kerja. Fakta loh ini ya. Jadi belum tentu penerimaan negara tercapai, belum tentu target kesehatan tercapai seperti yang mereka harapkan. Tapi jelas pekerja dikorbankan,” tegas Sudarto.
Ia berharap moratorium cukai dapat memberi ruang bagi industri legal untuk bertahan dan memulihkan kapasitas produksi yang sempat tertekan oleh kenaikan tarif dan maraknya rokok ilegal. Menurutnya, kebijakan ini sejalan dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat industri padat karya dan kedaulatan ekonomi nasional.
“Dalam momentum Pak Prabowo ini punya awareness terhadap yang namanya kerakyatan, ketahanan ekonomi, dan industri padat karya, itu memang harus mendapat perhatian serius,” tutup Sudarto.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: