Kredit Foto: Rena Laila Wuri
PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) mengakui proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh telah menekan kinerja keuangan perseroan secara signifikan. Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, menyebut proyek tersebut menimbulkan kerugian yang berulang setiap periode laporan keuangan.
“Secara otomatis, setiap akhir tahun atau setiap kuartalan kami membukukan kerugian dari proyek kereta cepat ini,” ujar Agung dalam paparan publik WIKA yang digelar secara virtual, Rabu (12/11/2025).
Agung menjelaskan, WIKA memiliki dua peran strategis dalam proyek KCJB. Pertama, sebagai investor melalui kepemilikan saham sebesar 32% di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan nilai investasi mencapai Rp6,1 triliun. Kedua, WIKA juga berperan sebagai kontraktor utama dan menjadi satu-satunya perusahaan Indonesia yang bekerja bersama enam kontraktor asal Tiongkok, dengan porsi pekerjaan mencapai 25% yang mencakup pembangunan fondasi, timbunan, dan galian tanah.
Baca Juga: Polemik Kritik Beban Utang Kereta Cepat Whoosh, Prabowo Jamin Tak Ada Masalah
Namun, keterlibatan besar tersebut justru menimbulkan eksposur kerugian bagi WIKA. Selain pencatatan rugi dari investasi, perusahaan juga masih menghadapi sengketa (dispute) dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) terkait pekerjaan konstruksi yang nilainya dinilai signifikan. “Ini sedang berproses, dispute antara WIKA dengan KCIC yang nilainya cukup besar,” kata Agung.
Ia menambahkan, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) saat ini tengah mengoordinasikan penyelesaian polemik tersebut. Salah satu opsi yang tengah dibahas adalah restrukturisasi proyek KCIC atau pengambilalihan saham dari empat pemegang konsorsium BUMN — yakni KAI, WIKA, PTPN, dan Jasa Marga — oleh pemerintah.
“Kita sedang menunggu, karena kalau nantinya proyek ini diambil alih oleh pemerintah, tentu akan berdampak positif bagi WIKA,” ujarnya.
Agung menekankan bahwa nilai eksposur WIKA terhadap proyek Whoosh cukup besar, baik dari sisi investasi maupun potensi kerugian akibat sengketa konstruksi. KCIC sendiri merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia melalui PSBI sebesar 60% dan China Railway International Co. Ltd. sebesar 40%.
Baca Juga: Purbaya Gabung Tim Pelunasan Utang Whoosh dengan China
Tekanan proyek KCJB semakin memperburuk kinerja keuangan WIKA sepanjang tahun ini. Hingga kuartal III-2025, perseroan mencatat rugi bersih Rp3,21 triliun, berbalik dari laba bersih Rp741,43 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan laba ini dipicu oleh turunnya pendapatan sebesar 27,54%, dari Rp12,54 triliun menjadi Rp9,09 triliun.
Pendapatan dari segmen infrastruktur dan gedung anjlok paling dalam sebesar 40,42% menjadi Rp3,58 triliun, disusul industri yang merosot 25,36% menjadi Rp2,63 triliun. Sementara itu, kontribusi dari energi dan industrial plant tercatat Rp2,3 triliun, hotel Rp203,78 miliar, realty dan properti Rp192,33 miliar, dan investasi Rp174,62 miliar.
Meski demikian, manajemen berharap penyelesaian restrukturisasi proyek Whoosh dapat menjadi titik balik bagi WIKA untuk menata ulang keuangannya.
Proyek Prestisius, Utang Serius
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh berulang kali menuai sorotan lantaran beban utang yang dinilai terlalu kebablasan dibandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan.
Wakil Rektor Universitas Paramadina sekaligus Ekonom Indef, Handi Risza Idris, menyebutkan biaya bunga utang yang harus ditanggung konsorsium saat ini mencapai Rp2 triliun, sementara pendapatan dari tiket hanya sekitar Rp1,5 triliun per tahun.
“Artinya ada selisih sekitar Rp500 miliar yang harus ditutup oleh pihak tertentu, apakah investor baru atau dana talangan, ini belum jelas,” kata Handi dalam diskusi Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi: Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat, Rabu (22/10/2025) lalu.
Handi menilai beban utang yang tinggi membuat kinerja konsorsium tertekan dan perlu segera dilakukan restrukturisasi pembiayaan agar tidak memperburuk posisi keuangan, terutama bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang turut menjadi bagian dalam proyek tersebut.
“Restrukturisasi perlu dilakukan supaya nilai utang bisa disederhanakan. Namun konsekuensinya masa pembayaran bisa semakin panjang,” ujarnya.
Baca Juga: Prabowo Tanggung Utang Whoosh, Airlangga: Masih Dikaji Skemanya
Selain persoalan keuangan, Handi menyoroti risiko ketidakpastian politik terhadap keberlanjutan proyek. Menurutnya, umur pemerintahan yang terbatas sering kali membuat kebijakan jangka panjang seperti KCJB rawan berubah arah ketika rezim berganti.
“Proyek ini dibangun puluhan tahun, sementara pemerintahan hanya lima tahun. Kalau berganti rezim, belum tentu dilanjutkan,” katanya.
Dari sisi investasi, Eisha Maghfiruha Rachbini selaku Direktur Program INDEF juga menekankan pentingnya studi kelayakan yang matang agar proyek infrastruktur besar tidak menjadi beban jangka panjang.
“Proyek infrastruktur seharusnya meningkatkan produktivitas dan melibatkan tenaga kerja lokal. Nilai keekonomiannya harus dihitung dengan mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat,” ujarnya.
Proyek kereta ini, sambungnya, sedari awal skema pembiayaan ditanggung secara bussines to bussines (B to B) akan tetapi ujungnya menjadi beban keuangan negara (APBN) karena harus menanggung utang tersebut.
"Dari tender kereta cepat Jakarta Bandung itu akhirnya terlihat bahwa skema pendanaannya ditanggung oleh konsorsium BUMN dan perkereta-apian di china. Di mana ada pinjaman China Development Bank 75%, ekuitas konsorsium china 25% dan di Indonesia sendiri tergabung di PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia) yang dipimpin oleh PT KAI bersama BUMN yg lain. Sementara di China diwakilkan oleh China Railways dan perusahaan-perusahaan yang memayunginya," katanya.
Ia melanjutkan, dilihat dari angka pinjaman 75% CDB dan 25% entitas konsorsium China muncul estimasi angka 5-6 miliar USD dan pinjamannya bisa sampai sekitar 4,5% miliar USD dengan suku bunga jangka panjang.
"Nah ketika diperjalanan, biayanya muncul cost overrun/peningkatan yang semula 5-6 miliar USD menjadi 7,5 miliar USD belum lagi ditambah kenaikan nilai tukar rupiah, maka praktis berdampak pada nilai total utang. Terlebih adanya pandemi Covid 19 yang pasti akan memperlambat pekerjaan, biaya dll," tambahnya.
Nah, janji di awal poroyek ini hanya ditanggung oleh B to B namun adanya tekanan-tekanan berubah menjadi adanya dukungan fiskal oleh APBN.
"Pepres 172/2015 yg menjelaskan pendanaan B to B tanpa melibatkan APBN lalu dievaluasi pada 2021 yang membuka ruang adanya dukungan fiskal APBN," jelasnya.
Ia melanjutkan pada 2023 disertai pula penyertaan modal negara yang di dalamnya ada Rp2,3 triliun disertakan kepada PT KAI yang menjadi jaminan pemerintah atas pinjaman tambahan dari China Development Bank.
"Jadi dampak finansialnya, ini adalah besaran kerugian dari PSBI 2023- 2025 memang ada kerugian 0,97 triliun pada 2023 dan 2024 minus 4,2 triliun," tegas Eisha.
Akibatnya, terdapat kerugian yang konsisten terus meningkat, bahkan di 2025 telah terlihat minus 1,6 triliun yang menjadi kerugian.
"Akumulasi kerugian tersebut menandakan bahwa PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) masih menghadapi tekanan pembiayaan dan menjadi masalah yang belum teruraikan penyelesaiannya," jelasnya.
Bagaimanapun juga kerugian tersebut akan memberikan dampak pada perusahaan yang tergabung dalam konsorsium. 60% kerugian PSBI merupakan atribut dari PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas dalam konsorsium.
Ia menilai kinerja secara day to day KCIC memang ada penumpangnya, tapi ternyata di Oktober 2025 dari 12 juta penumpang, di Juni 2025 yang kebetulan bulan libur sekolah, ada record harian yg berdampak pada kinerja perjalanan.
"Namun actual dari selisih secara optimum sebenarnya bisa di 36 ribu tapi masih ada gap sebesar 22 ribu. Jadi ada gap 40% okupansi kereta cepat yang masih harus ditingkatkan,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri