Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Korban Ratusan Jiwa, WALHI Sebut Bencana Sumatera Murni Ekologis: Tagih Evaluasi Izin dan Tanggung Jawab Korporasi

        Korban Ratusan Jiwa, WALHI Sebut Bencana Sumatera Murni Ekologis: Tagih Evaluasi Izin dan Tanggung Jawab Korporasi Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada 25-27 November lalu telah meninggalkan dampak kemanusiaan dan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Tercatat, 442 orang meninggal dunia, 402 orang dinyatakan hilang, dan 156.918 jiwa terpaksa mengungsi.

        Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara tegas menyatakan bahwa tragedi ini bukan disebabkan oleh fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang dipicu oleh kerentanan lingkungan yang meningkat akibat masifnya deforestasi dan perubahan bentang alam yang difasilitasi oleh kebijakan pemerintah.

        WALHI merinci, rentang 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di ketiga provinsi tersebut telah terdeforestasi. Kerusakan ini dikaitkan dengan aktivitas 631 perusahaan yang memegang berbagai izin.

        Baca Juga: Walhi Tantang Pernyataan Bobby Nasution soal Banjir Sumut: Ini Fakta Sebenarnya

        Data WALHI menunjukkan, izin eksplorasi hutan memegang konsesi terbesar seluas 268.177 hektar, disusul Hak Guna Usaha (HGU) seluas 183.483 hektar, dan izin tambang seluas 25.832 hektar. Kerusakan ini berpusat di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang berada di bentang hutan Bukit Barisan.

        Di Aceh misalnya dari 954 DAS yang ada, 20 di antaranya sudah kritis. Degradasi tutupan hutan parah terjadi di beberapa DAS, antara lain:

        1. DAS Peusangan (luas 245.323 hektar) mengalami kerusakan mencapai 75,04%.

        2. DAS Singkil mengalami degradasi tutupan hutan sebesar 66% (820.243 hektar) dalam 10 tahun terakhir.

        3. DAS Krueng Trumon (luas 53.824 Ha) kehilangan tutupan hutan 43% (2016-2022).

        4. DAS Jambo Aye mengalami kerusakan 44,71%.

        5. DAS Krueng Tripa mengalami kerusakan 42,42%, dan DAS Tamiang 36.45%.

        Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menekankan bahwa kondisi ini menunjukkan alam sudah tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan korporasi.

        Baca Juga: Walhi Tegaskan Banjir Sumatera sebagai Bencana Ekologis

        "Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang," kata Solihin dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/12/2025).

        Titik Kritis di Batang Toru dan Aia Dingin

        Di Sumatera Utara, bencana terparah melanda wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yang mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan. Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, mengkritisi perizinan di kawasan strategis tersebut, termasuk proyek PLTA Batang Toru dan pertambangan emas.

        Rianda juga menyoroti kasus alih fungsi hutan untuk kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari di desa-desa Kecamatan Sipirok. Ia menyimpulkan, proses perizinan yang korup menjadi akar masalah.

        "Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang," ungkap Rianda.

        Baca Juga: Walhi Tantang Pernyataan Bobby Nasution soal Banjir Sumut: Ini Fakta Sebenarnya

        Sementara itu, di Sumatera Barat, Direktur Eksekutif WALHI Sumbar, Andre Bustamar, mencatat kerusakan parah terjadi di hulu DAS Aia Dingin, Kota Padang (luas 12.802 hektare). Kawasan ini kehilangan 780 hektare tutupan pohon dari 2001 hingga 2024.

        "Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung," jelas Andre, menegaskan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab penuh.

        Tuntutan Evaluasi Izin dan Pertanggungjawaban Korporasi

        Menanggapi kerugian besar ini, WALHI Nasional mendesak negara dan korporasi bertanggung jawab penuh. Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, meminta pemerintah mengevaluasi total izin perusahaan, khususnya yang berada di ekosistem penting.

        Baca Juga: Presiden Prabowo Pastikan Penanganan Infrastruktur Terdampak Banjir di Aceh Tenggara

        "Penyebab bencana ekologis yang terjadi saat ini adalah pengurus negara dan korporasi. Maka tanggung jawab pengurus negara adalah mengevaluasi seluruh izin perusahaan yang ada di Indonesia, terkhususnya di ekosistem penting dan genting. Jika harus dilakukan pencabutan izin, maka itu harus dilakukan," tegas Uli.

        Uli juga menuntut agar korporasi menanggung biaya eksternalitas dari bencana yang terjadi, termasuk pemulihan ekosistem.

        "Negara tidak boleh menanggung biaya eksternalitas itu sendiri, karena uang yang akan dipakai adalah uang negara yang sumbernya dari pajak kita," katanya.

        WALHI juga mengkritik lemahnya respons pemerintah daerah terhadap peringatan dini BMKG yang terdeteksi sejak 17 November 2025. Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala, menegaskan kembali bahwa kerentanan yang diciptakan oleh perusahaan adalah pemicu utama.

        Baca Juga: Tinjau Wilayah Terdampak Banjir di Padang, Zita Anjani Dorong Penguatan Layanan Darurat untuk Ibu dan Balita

        "Pemicu utamanya bukan alam semata, tapi karena kerentanan yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang merusak daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini menegaskan bahwa tidak ada yang namanya Bencana Alam," jelas Gandar.

        Ia mendesak pengesahan mekanisme Analisis Risiko Bencana yang diamanatkan UU No. 24 Tahun 2007 untuk mencegah kegiatan pembangunan berisiko tinggi.

        Secara kemanusiaan, WALHI mendesak penetapan status bencana nasional untuk mempercepat respons. Namun, Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis WALHI Nasional, Melva Harahap, memberi catatan penting.

        Baca Juga: Banjir Memperparah Kelesuan di Sektor Otomotif Thailand

        "Hal yang harus diingat, penting bagi negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi, dan tidak menetapkan ini sebagai bencana alam, sebab penetapan itu akan berkonsekuensi pada gugurnya tanggungjawab korporasi," tutup Melva.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: