- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
OJK Ungkap Kerugian Akibat Perubahan Iklim Tembus US$300 Miliar Global
Kredit Foto: Uswah Hasanah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan perubahan iklim dan meningkatnya risiko bencana kini menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian global dan stabilitas sektor jasa keuangan Indonesia. Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Isabella Wattimena, menegaskan ancaman tersebut sudah berdampak langsung terhadap akses kredit, risiko operasional, hingga kesehatan institusi keuangan.
Dalam paparannya di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (2/12/2025), Sophia mengutip Global Risks Report 2025 dari World Economic Forum (WEF) yang menempatkan perubahan iklim sebagai risiko utama dekade mendatang. Ia menjelaskan tren lonjakan suhu global tiga tahun terakhir telah mencatatkan rekor tertinggi, sementara Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan risiko bencana tertinggi dunia versi World Risk Index 2025.
Sophia mengungkapkan kerugian ekonomi global akibat bencana dan cuaca ekstrem mencapai sekitar US$300 miliar. Dampaknya turut memengaruhi perilaku lembaga keuangan internasional, termasuk bank-bank di Amerika Serikat yang mulai menghindari penyaluran kredit ke wilayah rawan kebakaran karena risiko kerusakan aset dan meningkatnya potensi gagal bayar.
Baca Juga: Inflasi Medis Tekan Premi, OJK Minta Perusahaan Asuransi Lakukan Ini
“Indonesia diperkirakan menghadapi tekanan lebih besar mengingat sebagian struktur ekonominya bergantung pada sektor-sektor yang sangat terpapar risiko iklim,” kata Sophia.
Ia merinci sektor pertanian dan kelautan—yang menyumbang sekitar 14% Produk Domestik Bruto (PDB)—sebagai wilayah paling rentan terhadap cuaca ekstrem, kenaikan temperatur, dan bencana hidrometeorologi. Berdasarkan pemodelan risiko yang disampaikan Sophia, cuaca ekstrem berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 0,66% hingga 3,45% dari PDB Indonesia.
“Jika risiko tersebut tidak dimitigasi, dampaknya akan langsung masuk ke sektor jasa keuangan melalui peningkatan risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, hingga potensi guncangan likuiditas,” ujar Sophia.
Baca Juga: Perkuat Komitmen Iklim, Indonesia Pacu Transisi Energi dan Pengendalian Emisi
Ia menekankan risiko iklim kini menjadi tantangan strategis bagi lembaga keuangan karena menuntut transparansi lebih besar dalam pengungkapan ESG dan pelaporan risiko berkaitan dengan iklim. Penguatan standar pelaporan berkelanjutan dinilai krusial, termasuk melalui adopsi standar internasional PSDK 1 dan 2 yang mulai berlaku di Indonesia pada Juli 2025.
Sophia menutup paparannya dengan mengingatkan bahwa perubahan iklim bukan ancaman masa depan semata. “Perubahan iklim tidak lagi menjadi ancaman yang jauh. Dampaknya sudah kita rasakan, dan hanya tindakan nyata serta konsistensi yang dapat mengubah arahnya,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri