WE Online, Jakarta - Reformasi berusia 17 tahun pada 2015 sejak pernyataan berhenti Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang menjadi peristiwa pertama sepanjang sejarah republik ini setelah menjabat 32 tahun sejak 1966.
Reformasi yang berada pada masa "sweet seventeen" ternyata masih diwarnai kegaduhan sepanjang 2015.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI 2014-2019 Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatannya sejak 16 Desember 2015. Itulah kenyataan di penghujung tahun dalam rentetan peristiwa politik sepanjang 2015 yang sarat kegaduhan.
Sepanjang sejarah, Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI pertama yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum berakhir masa kerjanya.
Walaupun 2015 memiliki shio tahun kambing kayu yang melambangkan kedamaian dan ketenangan, situasi politik 2015 sarat gejolak kepentingan atas berbagai kasus dalam jagad perpolitikan nasional.
Kegaduhan politik tahun ini diawali oleh batalnya Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kepala Polri padahal rapat paripurna DPR RI pada 15 Januari 2015 telah menyetujui pengajuan Presiden Jokowi yang menjadikan Budi Gunawan calon tunggal Kapolri dan telah lulus uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI.
Presiden Jokowi mengajukan surat kepada Ketua DPR tertanggal 9 Januari 2015 yang mencalonkan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman. Namun pada 13 Januari 2015, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar dalam penerimaan hadiah atau janji.
Meledaklah kegaduhan politik. Budi Gunawan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Publik terbelah, sebagian mendukung KPK dan sebagian lain mendukung Budi Gunawan. Institusi Polri dan KPK berada dalam ketegangan.
Sejumlah polisi menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Depok pada Jumat pagi 23 Januari 2015 atas dugaan rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam prakara Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat 2010.
Jubir Mabes Polri Ronny Sompie dalam jumpa pers di Mabes Polri menyampaikan Bambang Widjojanto disangka menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu di depan sidang Mahkamah Konstitusi pada 2010. Bambang ketika itu pengacara pasangan calon bupati dan wakil bupati, Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto.
Ketua KPK Abraham Samad juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus pemalsuan dokumen kartu keluarga dan kartu tanda penduduk atas nama Feriyani Lim.
Meskipun hakim tunggal Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan memenangkan gugatan Budi Gunawan pada 16 Februari 2015, dua hari kemudian atau tepatnya pada 18 Februari 2015, Presiden Jokowi di Istana Merdeka mengumumkan membatalkan Budi Gunawan sebagai Kapolri karena pencalonan Budi telah menimbulkan perbedaan di masyarakat sehingga perlu menciptakan ketenangan.
Presiden Jokowi mengajukan Wakil Kepala Polri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri kepada DPR. Prosesnya hingga April 2015, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan di DPR dan disetujui dalam rapat paripurna DPR RI, Badrodin pun dilantik oleh Presiden sebagai Kapolri dan Budi Gunawan menjadi Wakil Kapolri.
Presiden pun memberhentikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Abraham menjalani proses hukum di Polda Sulselbar sedangkan Bambang Widjojanto di Mabes Polri.
Kegaduhan politik yang berlarut-larut juga terjadi ketika Menkumham Yasona Laoly mengesahkan kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono dan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan di bawah kepemimpinan Romahurmuziy.
Keputusan itu membuat dualisme kepemimpinan di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan menjadi konflik berkepanjangan. Kepengurusan Partai Golkar terbelah antara kepemimpinan Aburizal Bakrie hasil Munas IX Bali 30 November-4 Desember 2014 dan Agung Laksono hasil Munas Ancol, Jakarta, 6-7 Desmber 2014 sedangkan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan berkiblat ke kepemimpinan Djan Faridz hasil Muktamar VIII Jakarta 30 Oktober-3 November 2014 dan kepemimpinan Romahurmuziy hasil Muktamar 15-17 Oktober 2014.
Keputusan Menkumham yang menciptakan kegaduhan itu juga sampai ke ranah hukum. Kubu Aburizal Bakrie menggugat keputusan Menkumham yang diumumkan pada 10 Maret itu. Golkar kubu Aburizal Bakrie menggugat secara perdata ke PTUN hingga ke MA. Kubu Aburizal Bakrie juga mempidanakan kubu Agung Laksono ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Jakarta Barat karena menyelenggarakan munas di Ancol, Jakarta, sebagai perlawanan atas munas di Bali.
Sementara kepengurusan PPP pimpinan Djan Faridz menggugat perdata keputusan Menkumham ke PTUN hingga Mahkamah Agung. Kasasi Mahkamah Agung pada pertengahan Oktober 2015 mengabulkan permohonan kasasi kubu Djan Faridz hasil muktamar di Jakarta dan tidak mengakui kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar di Surabaya di bawah pimpinan Romahurmuziy.
Dualisme kepengurusan di Partai Golkar juga berpengaruh pada pencalonan kepala daerah yang didukung oleh partai berlambang pohon beringin itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merupakan kader Partai Golkar pun berkali-kali terlibat dalam perundingan untuk mendamaikan kedua kubu.
Kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono pun rujuk dan menggelar silaturahim bersama pada 1 November 2015. Silaturahiml itu terlaksana setelah pada penghujung Oktober 2015, kasasi MA mengembalikan kepengurusan Partai Golkar kepada hasil Munas 2009 di Riau. MA juga membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang menguatkan putusan Menkumham sehingga kembali ke putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. lPada 19 Mei lalu, majelis hakim PTUN Jakarta membatalkan surat keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta.
Kepengurusan Golkar pun kembali kepada hasil Munas Riau 2009 yang dipimpin Aburizal Bakrie dengan Idrus Marham sebagai sekretaris jenderal. Dalam kepengurusan tersebut, Agung Laksono menjabat sebagai wakil ketua umum. Mereka sepakat segera menggelar munas untuk memilih kepengurusan baru.
Silang pendapat antarmenteri bahkan antara Menko Perekonomian Rizal Ramli dan Wapres Jusuf Kalla pun berulang kali terjadi sehingga menyebabkan kegaduhan. Bahkan kegaduhan itu membuat Presiden Jokowi dalam rapat kabinet paripurna pada 2 November 2015 mengingatkan seluruh menterinya tidak saling serang.
:Sekali lagi saya ingatkan dan yang terakhir. Kalau sudah diputuskan dalam rapat kabinet dan rapat terbatas, semua menteri harus berikan dukungan. Setuju tidak setuju disampaikan dalam rapat, jangan sampai sudah disetujui masih ada bunyi tidak setuju di luar. Jangan sampai di luar, apalagi dipolemikkan," kata Presiden. (Ant) BERSAMBUNG
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: