Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pertemuan para Menteri Tenaga Kerja anggota G20 di Beijing, China, pada 12-13 Juli 2016 yang menghasilkan Deklarasi Menteri Tenaga Kerja G20 tidak akan berjalan efektif jika PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tidak dicabut.
Seperti diketahui, Deklarasi Menteri Tanaga Kerja G20 memuat kesepakatan bersama mengenai rekomendasi kebijakan terhadap pengurangan pengangguran, peningkatan keterampilan sesuai keinginan pasar kerja, meningkatkan kualitas pemagangan dan prinsip-prinsip kebijakan pengupahan yang berkelanjutan, rasional, serta koheren.
Menurut Iqbal, PP 78/2015 yang menetapkan rumus kenaikan upah hanya berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi justru membatasi kenaikan upah. Padahal base on upah di Indonesia termasuk yang paling rendah di ASEAN di mana data ILO menyebutkan upah rata-rata per bulan di Laos US$121, Indonesia US$174, Vietnam US$181, Filipina US$206, Thailand US$357, dan Malaysia US$506. Selain itu, kebijakan ini membuka ruang hilangnya upah minimum sektoral.
"Intinya PP 78/2015 membuat hak berunding hilang dan kembali kepada kebijakan upah murah. Ini berarti bertentangan dengan isi deklarasi G20 yang ditandatangani pemerintah indonesia tersebut. Hal ini berdampak pada turunnya daya beli buruh dan rakyat serta melambatnya pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9%. Di sisi lain, pendapatan pajak juga berkurang karena banyak pabrik yang menurunkan produksinya dan mem-PHK buruh," katanya dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Selasa (19/7/2016).
Dengan formula kenaikan upah memakai PP 78/2015, imbuhnya, upah minimum di DKI Jakarta akan tetap lebih rendah dari upah di Karawang dan Bekasi. Padahal, bukan tidak mungkin tahun depan inflansi di DKI Jakarta lebih tinggi.
"Ingat, angka gini ratio di DKI makin besar dibandingkan angka nasional. Hal ini disebabkan upah murah di DKI Jakarta. Begitu pun dengan upah minimum di Semarang akan tetap rendah. Padahal, biaya hidup di sana tidak jauh berbeda dengan upah di kota-kota besar yang lain," ujarnya.
Selanjutnya, pria yang juga menjadi deklarator Rumah Rakyat Indonesia itu menegaskan bahwa dengan upah yang rendah maka mustahil kualitas pekerja bisa ditingkatkan sesuai isi deklarasi G20. Untuk itu, ia meminta agar sistem penetapan upah minimum dikembalikan pada mekanisme penetapan kebutuhan hidup layak (KHL) melalui survei pasar dan perundingan di dewan pengupahan yang melibatkan serikat buruh, pemerintah, dan Apindo.
"Bagaimana mungkin buruh meningkat kualitasnya jika upahnya saja tidak cukup memehuhi kebutuhan hidup? Dan upah di Indonesia masih rendah di ASEAN," tegasnya.
Masih menurut Iqbal, PP Nomor 78 Tahun 2015 yang disebut-sebut mampu mencegah terjadinya PHK ternyata hanya omong-kosong. Buktinya, PHK besar-besaran masih saja terjadi.
"Itu artinya Menaker telah melakukan pembohongan publik dengan menandatangani deklarasi G20 tersebut," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement