Perekonomian Mongolia tengah menghadapi krisis utang dan kemungkinan gagal bayar alias default. Padahal, pada tahun 2011 perekonomian Mongolia tumbuh sebesar 17 persen dan berhasil menarik miliaran dolar AS dari investasi asing.
Mata uang Mongolia mengalami penurunan tajam sebesar 10 persen terhadap dolar AS sejak sebulan terakhir. Sebenarnya, bank sentral Mongolia sudah berupaya untuk manahan pelemahan mata uang dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 4,5 presentase poin menjadi 15 persen, namun upaya tersebut tidak berhasil.
Bahkan saat ini, di tengah kondisi ekonomi Mongolia yang semakin parah, muncul isu bahwa pemerintah Mongolia akan meminta bantuan dana bailout dari Badan Moneter Internasional (IMF).
"Kita mengalami krisis ekonomi yang cukup buruk dan kemungkinan besar tidak akan mampu membayar gaji dan biaya operasional dari departemen pemerintahan," kata Menteri Keuangan Mongolia Choijilsuren Battogtokh pada pidato nasional pekan lalu seperti dikutip dari laman CNN di Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Kondisi yang menjadi mimpi buruk bagi Mongolia tersebut cukup ironis. Pasalnya, selama ini Mongolia merupakan salah satu negara tujuan investor. Negara berpenduduk 3 juta orang tersebut dikaruniai sumber daya alam berlimpah dan berhasil menarik miliaran dolar dalam investasi tambang.
Sebelum terjadi krisis mata uang, Bank Dunia mengatakan bahwa Mongolia di ambang transformasi besar didorong oleh eksploitasi sumber daya mineral yang luas. Namun, anjloknya harga komoditas mengakhiri masa keemasan ekonomi Mongolia. Di sisi lain, permintaan dari China semakin menurun akibat perlambatan ekonomi mereka.
Para ahli memprediksi pertumbuhan ekonomi Mongolia tahun ini akan relatif datar atau berada di angka pertumbuhan satu digit, namun bisa lebih buruk jika krisis ekonomi tidak berhasil diselesaikan.
Pada pekan lalu, Standard & Poors (S&P) memangkas peringkat kredit Mongolia dari "B" menjadi "B-". S&P juga mengingatkan bahwa defisit anggaran pemerintah bisa lebih buruk menjadi 21 persen dari PDB di 2016 dibandingkan prediksi sebelumnya sebesar 9,1 persen.
Lembaga pemeringkat tersebut juga memprediksi total utang pemerintah secara keseluruhan telah membengkak dari 26 persen dari PDB pada tahun 2010 menjadi 78 persen pada tahun ini. Peningkatan anggaran juga diprediksi akan mengerek rasio ke posisi lebih dari 90 persen pada tahun 2019. Di saat yang sama, Mongolia tidak memiliki cadangan devisa yang besar.
Hal ini akan menjadi tugas Partai Rakyat Mongolia yang menang dalam pemilihan nasional di bulan Juni untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi. S & P mengatakan, pemerintahan baru cenderung mengejar agenda pro-pertambangan.
Menurut S&P, ada dua proyek besar yang kemungkinan dapat membantu perekonomian Mongolia. Pertama, tambang emas dan tembaga Oyu Tolgoi senilai US$ 5,4 miliar, diprediksi akan beroperasi secara penuh sebelum akhir dekade ini. Kedua, tambang batubara senilai US$ 4 miliar juga tengah dikembangkan di wilayah Gobi Selatan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement