Belum lama soal vaksin palsu merebak, kini ada lagi permasalahan maraknya peredaran obat palsu membuat pandangan publik mengarah ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dianggap lalai dalam tugasnya.
Sejatinya, skala BPOM tergolong kecil jika dibandingkan dengan wilayah pengawasannya di seluruh Indonesia kendati memiliki unit kerja di daerah seperti Balai Besar POM. Apapun alasannya, BPOM dituntut lebih responsif terhadap hal-hal terkait peredaran obat palsu, baik dari sektor hulu sampai hilirnya.
Dewan Perwakilan Rakyat selaku pengawas kinerja BPOM menuntut lembaga pemerintah nonkementerian ini untuk lebih berani memerangi proses produksi obat palsu. Kendati demikian, sejumlah anggota DPR menyadari BPOM belum memiliki payung hukum yang cukup.
Badan yang bertugas mengawasi obat tersebut terganjal regulasi bahwa kewenangan BPOM hanya melakukan penyidikan dan untuk penindakan kasus harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kepolisian RI.
Anggota Komisi IX DPR RI Adang Sudrajat mengatakan selama ini payung hukum keberadaan BPOM didasarkan pasal 67-69 Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND).
Oleh karena itu, kata politisi PKS itu, BPOM perlu memiliki landasan hukum berupa undang-undang untuk mendapatkan kewenangan penindakan sehingga dalam penindakan pelanggaran terkait peredaran obat dan makanan tidak tergantung pada lembaga penegak hukum lain yang sifatnya delegatif.
BPOM, kata dia, selama ini memang memiliki Penyelidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang memiliki keterbatasan wewenang. Bahkan, wewenang PPNS tersebut tidak dapat langsung mencabut izin perusahaan yang terbukti melakukan produksi dan atau pemasaran obat palsu. BPOM hanya bisa mengusulkan kepada pemerintah daerah terkait untuk mencabut izin perusahaan yang diduga melakukan kesalahan.
Selain itu, lanjut dia, keterbatasan PPNS selama ini dalam hal penyelidikan kasus obat hanya bersifat administratif untuk menemukan fakta di lapangan. Untuk menetapkan tersangka, BPOM harus melalui kepolisian untuk menyidik atau kejaksaan kemudian melakukan penuntutan.
Menurut Adang, persoalan penambahan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dapat melakukan penindakan hukum baru diagendakan tahun 2017-2018 dalam bentuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).
"Wacana untuk menambah kewenangan BPOM itu dalam rangka perumusan di undang-undang. RUU-nya belum ada. Kami ingin itu menjadi agenda di 2017 dan 2018," kata Adang.
Senada, anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan tugas dan kewenangan BPOM untuk diperluas. Kewenangan itu, kata Saleh, bisa dari unsur kelembagaan yang proporsional. Ke depannya bisa dikaji secara mendalam apakah BPOM bisa bertindak seperti Badan Nasional Narkotika yang independen atau tidak.
Salah satu dampak yang dialami BPOM dengan tanpa independensi itu membuat badan pengawas ini tidak leluasa bergerak dalam mengusut peredaran obat ilegal, termasuk vaksin, di sejumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang ada di bawah naungan Kementerian Kesehatan dan swasta.
Sejauh ini, kata Saleh, BPOM juga tidak memiliki taring dalam kinerjanya karena tidak memiliki kewenangan untuk menindak, menuntut atau bahkan menangkap para pelaku kejahatan di ranah kejahatan obat dan makanan. Terlebih terdapat Permenkes 35/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang membuat BPOM tidak bisa mendeteksi asal-usul obat karena badan ini hanya diperbolehkan mengawasi produk saja. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement