Moratorium sawit di Indonesia masih menjadi isu menarik untuk dibicarakan. Ada pihak yang mendukung penghentian pembukaan lahan baru untuk penanaman sawit, tapi banyak pula pihak yang tidak setuju. Pro dan kontra juga terjadi dikalangan pengamat di Indonesia.
Pembahasan pro dan kontra moratorium sawit seperti diangkat oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Rabu (22/09/2016). Ketua Dept KAHMI, Bejo Santoso mengatakan moratorium sawit adalah blunder yang dilakukan pemerintah. Hal itu menghambat daya saing produk sawit indonesia dengan produk minyak nabati lainnya.
Menurut Bejo, saat ini sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Setidaknya sawit telah memberikan devisa USD20 miliar. Sawit juga telah menghidupi jutaan masyarakat di Indonesia.
Beberapa alasan moratorium sawit yang dituduhkan kepada industri sawit, seperti penyerapan air tanah, pembakaran hutan, menurut Bejo tidak benar. Sebab kalau sawit dianggap banyak menyerap air tanah, ada tanaman lain yang lebih banyak. Jika sawit menyerap 1.100 mililiter per tahun, tanaman Jati mampu menyerap 1.300 mili liter pertahun, Pinum dapat menyerap 1.400 mili liter per tahun, dan Lamtoro 2.200 mili liter pertahun.
Menurut Bejo, moratorium sawit justru dipicu oleh persaingan bisnis dengan penghasil minyak nabati lainnya. Sebab sawit mampu berproduksi 8-10 kali lebih banyak dibanding tanaman penghasil minyak nabati lainny.
"Apakah rela tulang punggung ekonomi dipreteli oleh pihak lain. Apakah benar kebakaran itu karena kelapa sawit, karena di negara lain yang tidak ada juga ada kebakaran. Apakah benar sawit tak boleh ditanam di hutan," ungkap Bejo penuh tanda tanya.
Mantan Menteri Kehutanan, MS Kaban, sebagai salah satu nara sumber mendukung pernyataan Bejo. Menurutnya isu yang dihembuskan terlalu mengada-ada. Sebab menurutnya sawit juga merupakan produk hutan, yakni jenis palm, hanya saja untuk sawit dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Konflik pengelolaan hutan di Indonesia MS Kaban sudah ada sejak lama, dan selama ini banyak yang tidak pernah selesai. Sebab tidak pernah ada penyelesaian yang serius dari pemerintah.
Salah satu konflik yang ada, status kawasan di jaman pemerintah terdahulu sudah dikelola masyarakat tapi saat ini masih dikatakan sebagai hutan yang dilarang untuk ditanami. Konflik sawit kali ini menambah daftar konflik di pengelolaan hutan di Indonesia.
"Sawit bisa 10 meter, berhektar-hektar bisa dikatakan hutan sawit, ada juga hutan jati," ungkap MS Kaban.
Persoalan sawit selama ini juga hanya hanya disoroti sebagai bahan pangan. Padahal kedepan akan menjadi energi baru terbarukan.
"Jangan-jangan ini ada perang antara sawit dengan negara penghasil minya-minyak lainnya, kedelai, matahari dan lain-lain," katanya.
Sebab sawit memiliki banyak keuntungan dibanding sumber minyak nabati lainnya. Selain produktifitasnya lebih tinggi, turunannya juga sangat banyak, selain makan juga bisa ke energi. Sehingga jelas manfaat sawit sangat besar dan berkontribusi bagi negara.
Kalau persoalan sawit hanya dari aspek lingkungan, lanjut MS Kaban, penyelesaiannya hanya butuh konsistensi. Pemerintah bisa membuat aturan yang menjadi payung bagi pengusaha untuk menjalankan usahanya.
"Konflik yang disebutkan hanya urusan administrasi sebaiknya segera didata dan kita akan selesaikan," tegasnya.
Terkait dengan persaingan diharapkan masih pada kontek persaingan dagang yang sehat. Jangan sampai masuk dalam perangkap strategi dagang yang sebetulnya dapat diatasi, seperti bagaimana mengatur supply dan demand.
"Isu lingkungan banyak aspek, tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak," imbuhya.
Menjawab moratorium tersebut, Dwi Pratomo, Dirjen Tanaman Tahunan dan Penyegar, dari Kemenpan menyampaikan, beberapa latar belakang moratorium dilakukan karena, ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali, perijinan usaha perkebunan sawit yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, daya dukung, dan tata ruang. Penyalahgunaan izin perkebunan sawit. Dan masih banyak lahan perkebunan sawit yang belum ditanami.
Tapi tidak dipungkiri bahwa moratorium tersebut terjadi juga karena adanya pengaruh dari luar. Belakangan industri sawit dalam negeri disoroti oleh LSM, salah satunya karena deforestasi.
"Memang menurut LSM kebijakan pemerintah salah terus, tidak pernah benar. Dari aspek lingkungan dan lain-lain," katanya.
Sementara itu, Dodik Ridho Nurrochmat, Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan IPB mengatakan, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan sawit. Ada dua opsi, yakni Moratorium atau Tata Kelola. Tujuan akhirnya untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Dodik menguraikan, apa yang menjadi dasar untuk moratorium sawit. Yang harus menjadi pertimbangan adalah, apakah target produksi sawit dan produk turunannya belum tercapai. Apakah pasar minyak nabati dunia masih tumbuh. Berkaitan dengan sosial ekonomi, apakah ada konflik lahan sawit, dan apakah tanaman selain sawit yang lebih diterima masyarakat baik sosial ekonomi dan budaya.
"Jika salah satu jawabannya ya, maka moratorium kurang efektif, dapat dilakukan moratorium terbatas dan pembenahan tata kelola," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement