Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

LSM Asing Harus Hargai Hasil Kongres Gambut di Kuching

Oleh: ,

LSM Asing Harus Hargai Hasil Kongres Gambut di Kuching Kredit Foto: Muhamad Ihsan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Keberatan yang mengatasnamakan 139 pakar dari 20 negara dan 115 institusi akademisi, pemerintah, dan organisasi masyarakat atas pemberitaaan hasil Kongres Gambut Internasional ke-15 di Kuching, Malaysia, tidak etis. Pasalnya, sebagian besar nama tersebut bukan peserta kongres dan tidak berkompetensi untuk mengkritisi keputusan kongres tersebut.

Demikian rangkuman pendapat yang disampaikan Guru Besar Faperta Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Abdul Rauf dan Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) DR Sudarsono Soedomo di Jakarta, akhir pekan lalu.

"Pemberitaan atas hasil kongres terbuka itu perlu dihormati karena semua pihak termasuk LSM dan Badan Restorasi Gambut (BRG) mempunyai kesempatan sama berbicara di kongres. Hasil kongres perlu dihormati dan tidak dikomentari dengan pernyataan keberatan yang begitu panjang. Apalagi, pernyataan itu bukan dari peserta," kata Abdul Rauf.

Menurut Rauf, ketika terjadi beda pendapat maka akademisi harus kembali ke data, fakta, dan kebenaran. Ia menegaskan fakta menunjukkan gambut di Indonesia bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan dan Sumatera Utara bisa menjadi rujukan. Pemanfaatan gambut untuk perkebunan sawit oleh PTPN serta perusahaan swasta PT Socfin Indonesia, imbuhnya, bisa dilakukan berkelanjutan selama hampir 100 tahun.

"Ini karena menerapkan kaidah-kaidah konservasi dan penanaman yang benar," ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa tanpa kaidah yang benar maka kerusakan bisa terjadi di mana saja, termasuk di tanah mineral. Contohnya, tembakau Deli yang menjadi kebanggaan Sumatera Utara kini kualitasnya menurun karena tidak mengikuti kaidah konservasi dan penanaman yang benar.

"Untuk mendapatkan tembakau Deli yang baik, harus dirotasi selama delapan tahun. Karena kaidah itu tidak diterapkan, kini ketinggian pohon tembakau tidak sampai satu meter dan produksinya tidak sebaik dulu," sebutnya.

Begitu juga penanaman sawit di gambut, tidak akan berhasil ketika tidak mengikuti kaidah yang benar. Bukan hanya gambut yang rusak, sawitnya pun pasti mati. Sebab itu, tata kelola air merupakan kaidah yang harus diterapkan agar kondisi gambut dan sawit tetap baik.

Adapun, Sudarsono Soedomo mengatakan gambut di Indonesia ?telah dimanfaatkan turun-temurun melalui kearifan lokal oleh banyak suku di Indonesia. Masalah timbul, terangnya, ketika asing terusik dengan keberhasilan penanaman sawit di lahan gambut dan sejak itu berbagai kampanye hitam mulai marak, namun tidak konsisten.

"Sebentar dibilang minyak sawit tidak sehat, sebentar lagi penanaman di gambut tidak sustain, dan lain sebagainya. Ini yang bikin bingung. Masalahnya pada sawit atau gambut atau memang ingin mematikan industri ini," herannya.

Ia?mengharapkan pemerintah tidak terpancing menari dengan genderang orang lain. "Kita diprovokasi untuk moratorium, sementara negara barat tetap menghasilkan emisi besar-besaran melalui industrinya. Kita tidak pernah protes, malah balik menghantam industri unggulan kita sendiri," sesalnya.

Disampaikan, di Eropa gambut ditambang untuk kepentingan energi seperti batubara. Sementara itu, pemanfaatan gambut di Indonesia jauh lebih beradab karena tidak mengeksploitasi serta menerapkan teknologi ramah lingkungan. Ia?mengharapkan akademisi Indonesia seharusnya mendukung pemanfaatan gambut sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Jangan sebaliknya berpolitik dan ikut-ikutan membekingi kepentingan dagang dan politik asing," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: