Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dwi Andreas Santosa menekankan pentingnya peningkatan produksi pertanian sebagai upaya menekan maraknya impor bahan pangan.
Namun ia meminta peningkatan produksi pertanian harus sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan petani.
"Peningkatan produksi menjadi tolok ukur upaya menurunkan impor. Tapi jangan lupa juga, produksi naik kalau kesejahteraan petani juga naik," katanya dalam diskusi bertajuk "Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia" di Jakarta, Kamis (13/10/2016).
Menurut Andreas, impor pangan menjadi salah satu kendala peningkatan produktivitas pertanian pangan.
Pasalnya, harga pangan impor yang murah tidak dapat disaingi oleh produk pertanian lokal.
Industri pangan hingga saat ini masih sangat bergantung kepada bahan baku impor.
Di sisi lain, pemerintah terus menggaungkan target swasembada bahan pangan.
"Pihak asosiasi pangan sebut 65 persen produk mereka bahan bakunya impor. Lalu bagaimana caranya pemerintah mencapai swasembada dengan hanya sekedar membatasi impor?" katanya.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) itu menuturkan pemerintah bisa saja menghentikan impor pangan. Sayangnya, jika terus mengikuti permintaan pelaku usaha, maka selalu ada celah untuk kembali membuka keran impor untuk komoditas lain.
"Misalnya jagung, sering ada pernyataan impornya turun 51,9 persen kuartal I-2016, volumenya 970.000 ton. Tapi di sisi lain, impor gandum justru naik 57 persen atau sekitar 2,1 juta ton. Ini kok bisa batasi impor satu produk, tapi impor lainnya melonjak?" katanya.
Oleh karena itu, Andreas menyebut peningkatan produksi pertanian menjadi satu-satunya jalan untuk bisa lepas dari jeratan impor.
"Ke depan, tidak ada jalan pintas untuk selesaikan itu (ketergantungan impor) semua," kata ahli kebijakan pertanian dan pangan itu. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Advertisement