Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran (Perca) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi RI mengenai perjanjian perkawinan pada Oktober lalu setelah permohonan uji materi oleh Ike Farida, pelaku kawin campur.
Sebelumnya, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum hingga masa ijab kabul.
Namun, setelah adanya uji materi, perjanjian perkawinan dapat dilakukan pada sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan serta atas pesetujuan bersama.
"Dikabulkan uji materi ini memberikan jaminan kesetaraan hak dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran, apalagi dalam hal kepemilikan properti," kata Ike Farida yang juga pengajar di Universutas Hitotsubashi, Tokyo, Jepang, saat membahas tentang Putusan Mahkamah Kontistusi Nomor 60/Puu-XII/2015.
Ia menceritakan tentang pengalamannya ketika membeli apartemen yang dibatalkan sepihak oleh pengembang dengan alasan WNI perkawinan campuran tidak mempunyai hak atas hak milik atau HGB jika tidak memilki perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan yang dimaksud dapat berupa pernyataan pemisahan harta suami dan istri sehingga properti yang dibeli nantinya menjadi milik WNI, bukan menjadi harta bersama (gana-gini).
"Kalau undang-undang yang dahulu, 'kan perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum hingga ijab kabul, pada saat menikah 'kan banyak pasangan yang tidak berpikir atau tidak tahu bahwa mereka butuh perjanjian kawin. Dengan adanya putusan yang baru ini, saya rasa menjadi hal yang baik buat para WNI yang kawin campur karena perjanjian perkawinan dapat dibuat selama pernikahan itu berlangsung," katanya.
Ketua Perca Juliani Luthan mengakui memang selama ini para WNI yang kawin campur selalu terbentur masalah saat akan membeli tanah atau bangunan dengan status HM atau HGB karena tidak memilki perjanjian perkawinan.
"Pengembang properti menyarankan mereka untuk melakuan penyeludupan hukum dengan menggunakan nama orang lain, mengganti status KTP menjadi lajang hingga menyarankan cerai dengan pasangannya agar dapat memiliki properti," kata Juliani Luthan pada hari yang sama.
Ia mengatakan bahwa keputusan MK tidak hanya berlaku bagi WNI yang melakukan pernikahan percampuran dengan WNA, tetapi dapat dilakukan oleh pasangan WNI dengan WNI.
Pengurus Forum Kajian dan Konsultasi Pertahanan, Edna Hanindito mengatakan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dapat berupa apa saja, pasangan cukup mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
"Isi pernjanjian perkawinan bisa saja hak dan kewajiban suami atau istri, larangan KDRT dalam keluarga, hak asuh anak jika terjadi perceraian dan lainnya selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan ketertiban hukum," katanya.
Ia menyarankan bagi pasangan yang membuat perjanjian pernikahan untuk melakukan publisitas dengan mendaftarakn perjanjian tersebut pada instansi pencatat perkawinan. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement