Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPU DKI: Tidak Ada Larangan Calon Pemimpin Non-Muslim

KPU DKI: Tidak Ada Larangan Calon Pemimpin Non-Muslim Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Dahlia Umar yang menjadi saksi atas kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan tidak ada di dalam undang-undang larangan bagi pemilih muslim untuk memilih pemimpin non-muslim.

"Tidak ada peraturan di undang-undang tentang itu," kata Dahlia di Jakarta, Selasa.

Selain itu, ia juga menyatakan tidak ada aturan soal batasan kampanye sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU DKI Jakarta.

Hal itu dikatakannya soal tudingan Ahok melakukan kampanye saat berpidato dalam kunjungannya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. "Tidak ada sanksi karena peraturannya belum mengikat," ucap Dahlia.

Ia juga menyatakan Panwaslu pasti akan menanggapi apabila ada laporan mengenai kampanye yang menjurus suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

"Kampanye adalah kegiatan yang menawarkan dan memperkenalkan visi misi calon kepala daerah kepada masyarakat. Kami imbau para calon kepala daerah untuk mematuhi peraturan yang dibuat KPU," ucap Dahlia.

Dahlia Umar menjadi saksi kedua yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang kedelapan Ahok.

Sebelumnya, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin juga telah memberikan kesaksian.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: